Senin, 20 Desember 2010

andai kalian tahu

Aku duduk terdiam. Ku tundukkan wajahku menatap lantai keramik yang sedikit berdebu. Seolah lantai itu adalah pemandangan yang amat menarik yang pernah kulihat. Ku tajamkan telinga. Namun rupanya tidak ada yang mau bersuara. Sepertinya teman-temanku sedang menunggu aku yang memulainya. Ku tundukkan wajahku semakin dalam. Bukan karena takut menghadapi mereka, tapi lebih karena ingin mengendalikan diriku, mengendalikan emosi yang sering meledak-ledak.

Dan itulah yang diharapkan teman-temanku. Mereka ingin emosiku terpancing, sehingga dengan mudah mereka akan mematahkan argumenku, keyakinanku, pandangan baruku tentang hidup yang nampaknya belum bisa mereka terima.
Tidak...., aku tidak boleh kalah. Aku percaya bahwa aku berada dalam jalan yang benar. Aku percaya dengan apa yang aku yakini. Keyakinan yang mungkin terdengar kaku, kolot, dan asing bagi perkembangan zaman, namun niscaya jalan itulah yang harus aku tempuh untuk meraih kebahagiaan hidup. Kebahagiaan abadi, yang tidak semua orang akan dapat merasakannya. Bukan kebahagiaan semu yang selama ini membuat buta manusia, kebahagiaan yang indahnya bagai pelangi, yang mempesona sesaat, namun segera lenyap tak berbekas.
Kupejamkan mata sebelum akhirnya kutatap wajah-wajah yang duduk mengitariku itu. Kucoba tersenyum.
“lalu apanya yang salah?” tanyaku pada mereka.
“jujur shin, aku masih gak bisa menerima pemikiranmu itu. Pola pikirmu itu terlalu ribet. Terlalu banyak aturan. Kesannya seperti menyulitkan apa yang kita lakukan. Dampaknya kita jadi lebih terikat. Gak bebas!” terang temanku.
Aku tersenyum. “ribet? Bagian mana yang ribet?memangnya sekarang aku terlihat kerepotan? Seperti yang kalian lihat kan? Aku masih shina yang dulu. yang serba praktis dan instant. Aku masih............”
“gak! Kamu beda. Sekarang kamu berubah. Kamu beda dengan shina kami waktu SMA dulu. terutama pola pikirmu itu. Entah apa yang membuatmu jadi begini. Entah lingkungan seperti apa yang kamu temui di kampusmu sana sehingga kamu jadi begini” potong temanku. “maaf bukannya aku bersuudzan padamu, tapi lebih baik kamu berhati-hati dalam memilih kawan”
“apa aku sedemikian berubahkah?” tanyaku.
“ya, sikapmu itu. Penampilanmu juga. Pakaianmu sekarang seperti bu batman, guru b.inggris kita dulu, aku ingat jilbab beliau juga sepanjang jilbabmu sekarang”
“kau tidak seceria dulu, kesannya seperti membatasi diri dengan kami”.
“lalu apakah perubahanku ini membuatku tampak lebih buruk? Apa banyak hal-hal menyimpang yang aku lakukan?”
Mereka hanya terdiam. Aku tatap wajah mereka. Masih tidak puas. Sepertinya masih banyak stok pertanyaan yang siap mereka lontarkan. Ku tundukkan kepalaku kembali.
“baiklah. Kami paham. Kalau begitu tolong jawab pertanyaan-pertanyaan kami ini. Karena kami rasa kau lebih paham daripada kami”.
“insya Allah........” jawabku lirih.
Aku yakin pertanyaan ini bukan pertanyaan biasa. karena pasti bukan jawaban dariku yang mereka harapkan. Tapi emosiku yang terpancing. Sehingga mereka dapat menangkap kelemahanku dan dapat mematahkan argumenku.
“seorang kenalan pernah berkata kepadaku bahwa manusia itu kotor. Sedangkan ketika sholat kita menghadap pada Allah yang maha suci. Jadi cukuplah ruh kita saja yang sholat, tanpa raga kita. Karena bagian yang suci dari diri kita adalah ruh kita. Nah, bagaimana menurutmu?”.
“kenapa bilangan rakaat sholat dibuat seperti yang sekarang ini, shubuh 2rakaat, dzhuhur,ashar, dan isya’ 4rakaat dan magrib 3rakaat? Kenapa tidak disamakan saja?”.
Aku kembali tertunduk. Ada gemuruh yang mulai meninggi di dada. Tapi pada yang sama ada perasaan pilu yang menyayat hati.
Ya Rabb.....,kuatkan hamba, batinku
Sebenarnya mudah saja kujawab kedua pertanyaan itu. Tapi aku tidak yakin mereka akan menerima dengan begitu saja.
Bukankah salah satu syarat diterimanya ibadah adalah sesuai dengan sunnah rasulullah?
Shalatlah seperti kalian melihatku shalat
Kalau Rasulullah mencontohkan seperti itu lantas kenapa kita harus membuat aturan sendiri?. Bukankah kita umat muhammad yang berarti beliaulah kiblat kiat dalam menerapkan kegiatan terutama ibadah?
Apakah kita ingin seperti bani israil yang selalu berbantah-bantahan dan selalu mencari-cari sesuatu untuk dipertanyakan agar dapat menemukan celah dalam agama?
Kutatap wajah mereka. Bibirku terasa kelu untuk bicara.
Teman....., aku tahu. Sebenarnya kalian telah mengetahui jawaban dari pertanyaan kalian itu. Aku yakin. Lantas kenapa sengaja kalian ciptakan pertanyaan semacam itu untukku? Untuk mengujiku? Memancing emosiku?.
 Apakah yang salah dengan diriku yang sekarang? Aku tetap shina yang sama. Shina yang menyayangi kalian. Kalau aku jadi lebih pendiam (menurut kalian) bukan karena apa. Tapi karena aku lebih menjaga  adab-adab seorang muslimah.
apakah jilbab lebar ini membuat kalian terbatasi denganku? Apakah segala peraturan-peraturan yang ku yakini ini menurut kalian terlalu menyusahkan dan rumit? Bagaimana kalian tahu, kalau kalianpun tidak pernah mencobanya. Lantas darimana predikat menyusahkan dan rumit itu kalian dapatkan?
Peraturan-peraturan ini, andaikan kalian dapat memahaminya, sebenarnya adalah pelindung kita. Pelindung dari kemungkaran di sekitar kita. Islam menciptakan peraturan-peraturan indah yang menyeluruh ini untuk pedoman hidup kita. Agar dapat menentukan arah di dunia yang fana.
Tapi kenapa begitu kompleksnya?
Bukankah dengan begitu akan semakin banyak pelindung yang kita punya sehingga semakin sulit untuk kita tergelincir?
Tidak akan semudah itu untuk menjelaskan. Karena bukanlah aku yang dapat mengendalikan hati itu. Hanyalah Allah yang mempunyai kuncinya. Semoga suatu saat Allah akan membukakannya.

(inspired from my friend’s story, semoga Allah menguatkan hatimu ukhti, ^^)

Tidak ada komentar: