Sabtu, 29 Desember 2012

kuronuma kazehaya

teringat hobi lama : baca komik.

dulu rasanya tiada hari tanpa komik. ke kelas bawa komik (sampe dipanggil ke ruang BK, gara-gara baca komik pas pelajaran. #anak baik, jangan ditiru ya) ,
 pake kacamata juga karena komik, gara-gara selalu baca komik sebelum tidur (emang sayanya sih yang bandel).
masa-masa itu memang sesuatu,hehe.
 ini salah satu cerita manga (komik jepang .red) favorite saya. ceritanya sederhana tapi manis dan kocak.

bercerita tentang seorang gadis bernama Kuronuma sawako, yang dijuluki 'sadako' oleh teman-temannya karena pembawaannya yang selalu diliputi aura mistis. padahal aslinya, sawako ini super baik hati dan polos. tapi karena kepribadiannya yang pendiam dan susah berinteraksi dengan yang lain, akhirnya timbulah gosip-gosip 'nyeleneh' tentang dirinya. mulai dari tuduhan bahwa dia seorang paranormal, bisa melihat dan manggil roh, hingga gosip bahwa seseorang akan terkena kutukan jika menatap matanya lebih dari 3 detik.

ada sedih, tapi ada lucunya juga.
 seperti halnya gadis remaja lainnya, sawako juga memiliki orang yang disukainya diam-diam. namanya Kazehaya Shota, temen sekelasnya yang suuuper ramah, ceria, baik hati dan disukai banyak teman-temannya. berbeda dengan sawako, kazehaya memiliki banyak sekali teman, hampir seluruh murid di sekolah mengenalnya, jelas... orangnya supel banget soalnya. hal inilah yang membuat sawako menyukai kazehaya, karena kazehaya adalah 'kebalikan dari dirinya'. sawako tampak suram sementara kazehaya selalu terihat bersinar. selain itu, kazehaya adalah satu-satunya orang yang tidak takut dengan dirinya dan memperlakukannya seperti orang normal, jauh lebih baik malah.

namun sebenarnya, ada hal yang tidak diketahui oleh sawako, yaitu kenyataan bahwa kazehaya juga menyukainya, sejak pertama bertemu #ceilee~.

 lho kok bisa? hehe. bisa dong, namanya juga cerita
.

Kamis, 20 Desember 2012

Bakso

      Teringat pengalaman di desa, ketika sedang kerja lapangan kemarin.
    di daerah sekitar tempat tinggal saya di desa, cukup banyak penjual bakso. (rujak juga ada), tp yang paling saya dan teman-teman favoritkan adalah baksonya pak bandi : D

      Selain baksonya enak dan murah, yang bikin kami demen nunggu-nungguin bapak ini tiap hari adalah keramahan dari penjual alias pak bandinya.

     lucunya, karena seringnya kami beli bakso ini (hampir tiap hari), teman-teman saya sampai bisa membedakan bunyi ketokan bambu milik pak bandi dan penjual bakso yang lain. 

          Tiap siang, setelah pulang dari kegiatan, kami pasti berkumpul di ruang tengah kos-kosan untuk menanti seseorang yang sangat kami harapkan, yaitu pak bandi. kalau sampai melewati jam 2 pak bandi tak juga lewat, kami langsung meng-sms beliau 

        "pak bandi, hari ini jualan kan? kami tunggu ya pak -mahasiswa KKN-" 
      
  dan segera pak bandi pun membalas sms kami, menjelaskan posisinya dimana dan perkiraan berapa lama lagi beliau akan sampai ditempat kita. (ternyata yang suka dengan bakso pak bandi bukan kita-kita saja ya?^^).

     Dalam keadaan lelah dan lapar seperti ini, walaupun ada penjual bakso lain yang lewat, kami tidak akan tergoda (hehe). tetap setia menunggu pak bandi (BFC, Bandi Fans Club) hihihi

         Hmmmm, pak bandi memang tidak tergantikan sebagai 'The king of bakso seller in Gading kembar' versi mahasiswa KKN gizi 2009' 

: D. 

        Semoga Allah melimpahkan karunia rizkiNya ya pak, yang Barokah pastinya. 

        Berbicara tentang bakso, saya jadi ingat, salah satu dosen saya pernah berkata. 
"hidup ini harus penuh perjuangan, kita bersakit-sakit dahulu baru kemudian mencicip enaknya di akhir perjuangan kita. sama seperti makan bakso, kalau makan bakso pentolnya kalian makan kapan?" 

"di akhir" jawab kami serentak. 

"kenapa?" beliau kembali bertanya. 

"karena yang paling enak, dokter" jawab kami serempak. beliau tersenyum kemudian kembali menerangkan 

 "ketika makan bakso, memang yang dimakan pasti tahunya dulu, gorengan, atau siomaynya. baru setelah itu pentol yang paling enak dimakan diakhir. sama seperti kita, kalau kita makan pentolnya dulu, akhirnya di akhir tidak ada lagi yang spesial. tinggal tahu dan kawan-kawan saja." (saya tidak bermaksud menentang para penggemar tahu loh ya, saya juga suka tahu,siomay, gorengan dan lain-lain^^) beliau melanjutkan

 "kalau hidup kita maunya enak-enaknya dulu, tanpa bersusah dan bersakit-sakit diawal, maka di akhir kita mungkin akan kecewa dengan hasil kerja kita yang tidak spesial".

 kami semua manggut-manggut mendengar penjelasan beliau tentang bakso #eh? 

 Tapi nampaknya dosen saya tersebut belum selesai dengan penjelasannya. beliau kemudian melanjutkan 

     "sama seperti pacaran. 
kalau pacaran dulu, ber-indah-indah dulu sebelum nikah, nanti akhirnya setelah menikah, rasa 'indah' itu tidak akan se-indah diawal ketika pertama kali berpacaran. karena 'pentol'nya sudah kalian makan duluan, 
     akhirnya yang tersisa tinggal tahu,dan lain-lain. tidak ada yang spesial, yang dinanti nantikan. makanya kesimpulannya...., makan pentolnya di akhir saja ya" terang beliau yang langsung disambut dengan tawa kami semua. 

  sampai sekarang, ketika saya makan bakso saya selalu teringat beliau.



   suatu saat ketika makan bakso bersama dengan teman saya, saya iseng bertanya "pentolnya kamu makan kapan?" 

 "nanti, di akhir. kenapa emang?" jawabnya. 

 saya tersenyum teringat dosen saya. "gak papa, nanya aja" jawab saya.

Minggu, 16 Desember 2012

episode tengah malam

          "17/12/2012" 
        begitu angka yang tertera di layar laptop saya. saya telusuri tepat dibawahnya tertera pula keterangan waktunya  "0:42".

          yah..., pertengahan malam telah lewat. apa yang dilakukan kebanyakan orang pada saat ini?. 
tak perlu ditanya pasti hampir semua sepakat bahwa jawabannya adalah "tidur" atau mungkin diperindah dengan istilah "beristirahat". namun nampaknya tidak demikian dengan beberapa orang saudara saya diluar sana. 
       Ditengah malam seperti ini mereka masih bergulat dengan pekerjaan mereka. bisa dibayangkan betapa letih raga yang sejak pagi harus berdiri, bersiaga, berlalu lalang, menenangkan massa. Besarnya tekanan yang diterima pastilah semakin memperparah keletihannya, karena bukan saja raga yang letih, tapi pikiran dan jiwa pun juga, letih. 
        saya sangat berbangga dengan mereka, yang mau mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, dan mungkin juga hartanya untuk kepentingan umat. untuk sebuah pekerjaan yang berat. 
        kembali juga saya merasa malu, begitu kecil pengorbanan yang saya lakukan dibanding mereka, juga saudara-saudara saya yang lainnya. 
   
        barakallahu fiykum saudaraku. 
     
      jikalau perjuangan kita saat ini adalah untuk kebaikan, jika perjuangan kita ini adalah untuk berjuang dijalan-Nya, bukan untuk dunia semata, maka tidak akan ada balasan lain dari-Nya kecuali kebaikan pula, 

       "Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan(pula)". (QS. Ar-Rahman: 60) 

      dalam diri pasti ada emosi, atau luapan perasaan yang tertahan, karena dalam gejolak usia kita, akan sangat mudah bertindak tanpa mengindahkan situasi, norma maupun peraturan. 
      tapi sekali lagi, saat ini kita belajar, agar marah tak menggerus akhlaq, Dan adil tak terhalang benci. 



     
      karena kita belajar, untuk meraih cita ini dengan langkah yang terirama ridho Ilahi.
      karena kita telah tancapkan visi yang jauh lebih tinggi. 
      tidak sekedar kejayaan dunia yang melenakan, tapi surga-Nya yang menjanjikan. 

  "Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebaikan" (QS. Hud:115). 

     Mari sempurnakan ikhtiar kita, 
     karena kita berjuang tidak sekedar dengan kelihaian, tidak pula dengan hitungan pasukan, 
    tapi sumber utama dari segala kekuatan, adalah IMAN. 
    yang akan menghantarkan sang pejuang pada kemenangan yang dijanjikan 

 "Hai orang-orang mu'min, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (QS. Muhammad:7)

Senin, 10 Desember 2012

Karena Dosa Tak Tampak Mata



Ada bunga yang dikerumuni lebah & kupu. 
Pun ada sampah yang dirubung lalat & kutu.
Tak semua pesona itu mulia naif jika mudah berbangga.

aku mengenal baik siapa diriku
dulunya hanyalah setetes air yang hina kelak akan menjadi sekujur bangkai yang membusuk
kini dia berada diantara kedua hal itu hilir mudik kesana kemari membawa kotoran
-Salim A. fillah- 

 karena kita tdk tahu siapakah yg terbaik diantara kita, pun kita tak tahu siapa yg lebih berlumuran dosa.

wujud tak selalu menggambarkan segala, 

mereka yang diberi gelar 'sholih' oleh saudaranya, 
bukan berarti yang terbaik atau tersuci diantara mereka 
karena mereka juga insan yg penuh dosa, 
karena Hanya Dia-lah yang mengetahui kualitas sesungguhnya seorang hamba 

hanya saja mereka, tengah berjuang untuk memperbaki dirinya. 

dengan segala harap akan ampunan-Nya, serta cemas akan segala khilaf yg telah diperbuatnya 

andaikan dosa dapat menampakkan wujudnya di tubuh sang pendosa, mungkin takkan ada orang yang sudi mendekat pada kita. 

Andaikan dosa dapat menampakkan wujudnya, maka mungkin senyuman dari teman-teman sekitar, 
akan berubah jadi tatapan jijik yang menghinakan. 

bersyukur pada Allah yg sampai detik ini telah menutup aib-aib kita. 


Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Meliputi segala sesuatu.. 

Engkaulah Yang Maha Menutupi aib.. maka tutuplah aibku.. 
Sungguh seandainya aibku Engkau tampakkan, aku ragu apakah aku masih mau hidup dan memperlihatkan diriku di hadapan manusia, apalagi di Hadapan-Mu... 

maka benarlah doa Sang sahabat Ash-Shiddiq Yang Mulia, yang selalu berbaik sangka pada diri dan sesamanya 



“Ya Allah, jadikan aku lebih baik daripada semua yang mereka sangka dan ampuni aku atas aib-aib yang tak mereka tahu…” 

 Atau do’a seorang tabi’in yang mulia: 


“ya Allah, jadikan aku dalam pandanganku sendiri sebagai seburuk-buruk makhluk dalam pandangan manusia sebagai yang tengah-tengah dan dalam pandangan-Mu sebagai yang paling mulia.”

Senin, 26 November 2012

Namamu, Sang Rasul

dulu aku bertanya, mengapa namamu yang berulangkali disebutNya
dan kisahmu yang bertebar merambah hampir tiap surah bahkan Allah menetapkan;
kau terkisah untuk menguatkan jiwa hati dan rasa seorang Nabi penutup masa

ya, kini aku tahu..
betapa tak mudah menjadimu hai Musa
mengemban risalah dalam keadaan yang serba tak sempurna
kau tak fasih bicara, sulit berkata-kata
dan sebab khilaf masa lalu, kau tersalah membunuh

maka saat wahyu turun, air matamu menitik,
tubuhmu berpeluh dalam kesadaran akan beratnya beban,
kau mengeluh 

“bicaraku gagap, lidahku kelu, aku takut mereka akan mendustakanku..
dan pada mereka aku berdosa sungguh, aku takut akan dibunuh”

ya, kini aku tahu,
sungguh tak mudah menjadimu sebab dalam keterbatasan itu,
Allah berikan untukmu lawan penuh kuasa
perbendaharaannya kaya, kerajaannya luas,
tentaranya perkasa punggawanya setia, lagi taat buta mengaku tuhan tertinggi,

dia merasa berkuasa atas hidup dan mati
dan kau.. kau terhutang budi masa kecil padanya
dan tahukah kau duh Musa, kelak kaum yang kau pimpin
yang kau bimbing bebas dari perbudakan tiran
yang menyaksikan sejuta kuasa Allah menaungi mereka akan berlomba membangkangi Allah dan mendurhakaimu?

malam ini kususuri kisahmu, dan aku takjub atas takdirNya,
masa lalumu tak sempurna kau terpilih memikul risalah suci,
dan kau didustakan sedang Muhammad dipilihNya
dari pribadi yang terjaga sempurna dia memikul risalah dengan gelar Al amin yang masyhur sudah
tapi diapun tetap didustakan

mungkin sebab itulah kisahmu selalu menjadi penguat hatinya di saat-saat berat,
Muhammad mengenangmu dan melirihkan gumam “semoga Allah menyayangi saudaraku Musa.. sungguh ia dicobai lebih menyakitkan dari ini”

malam ini duhai Musa, kususuri kisahmu aku tersenyum,
alhamdulillah, kau membuatku merasa beban-beban da’wah ini hanyalah seberkas kapas
tapi di sisi lain, menelisik ceritamu, mataku basah
“ahh.. surga, rasanya masih jauh, sangat jauh..”

sepenuh cinta,
Salim A. Fillah

Minggu, 25 November 2012

Kerjakan, sebelum meminta mereka untuk mengerjakan

       Menjadi bagian dari keluarga besar Lembaga kerohanian Islam FKUB merupakan sebuah nikmat terindah sekaligus amanah yang sungguh tak mudah untuk dijalankan. 
      banyak pelajaran hidup yang saya dapatkan, tempaan, 
      persaudaraan, ketulusan, banyak hal.. yang takkan habis untuk diperinci satu demi satu. 

      ada kebahagian-kebahagiaan yang tak pernah saya rasakan sebelumnya seperti kebahagiaan mengenal islam, kebahagian membersamai para sholihin serta sholihat, juga kebahagiaan saat menikmati syahdunya jalan dakwah ini bersama-sama. 

        namun adakalanya, saya tertegun, takut jika teringat akan betapa besar amanah yang kini saya emban. takut jika teringat teguran Allah dalam Al-Anfal ayat 27

  "Wahai Orang-orang yang beriman! janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui"


“Setiap diantara kalian adalah pemimpin. Dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban terhadap kepemimpinannya.” (HR. Muslim) 

 Ya Allah, jadikanlah segala amanah ini sebagai pemberat amal kebajikan hamba yang akan semakin mendekatkan hamba pada ridhoMu, bukan semakin menjauhkan hamba padaMu, aamiin. 

 ----------- 

         Kewajiban dalam mengemban amanah ini, menurut ushul fiqih dalam fiqhud Dakwah memiliki 10 kaidah, dibawah ini adalah penjelasan atas kaidah pertama, yaitu memberi keteladanan sebelum berdakwah. 

        sangat mengena, membuat saya kembali mengintrospeksi diri. 

 Ya Rabb, mungkin penyebab dari gugurnya objek dakwah saya selama ini adalah karena kurangnya keteladanan yang ada pada diri saya.... #sedih 

 karena having is giving, not collecting (lebih tepatnya mungkin sharing is caring ya). maka ijinkan saya membagikan sedikit wacana ini kepada saudara-saudara semua :) 

--------------------- 

       Dai bagaikan pelita di kegelapan malam. 
tanpa kehadiran dai (orang yang berusaha untuk mengajak manusia-dengan perkataan dan perbuatannya-kepada islam, menerapkan manhajnya, memeluk akidahnya, dan melaksanakan syari’atnya), kaum muslimin akan menjadi orang-orang yang bodoh. 

      Melalui dakwah para dai, kesesatan dapat disingkirkan dari pikiran manusia, dan awan keraguan dapat disingkap dari hati dan jiwa mereka. 
Perilaku dan amal para dai adalah cerminan dari dakwahnya. Oleh karena itu, Allah mengutus Nabi SAW sebagai Rasul-Nya untuk menjadi teladan umat manusia. Allah menghendaki utusanNya yang menjadi teladan dalam perilaku, ibadah, muamalah, dan kebiasaan sehari-hari. jadi, wajib bagi seorang dai untuk mempelajari perjalanan hidup Rasulullah. 

         Karena sirah nabawiyah menceritakan kita tentang kepribadian manusia yang dimuliakan Allah sehingga menjadi teladan yang paling sempurna bagi orang-orang beriman bahkan menjadi tokoh idola umat manusia. keteladanan Rasulullah bukan sekedar untuk dibanggakan, tetapi untuk diikuti umat manusia sesuai kemampuan masing-masing. karena islam melihat bahwa keteladanan merupakan sarana dakwah dan pendidikan paling efektif. 
     
     Keteladanan dilihat dari perilaku. seorang anak membutuhkan teladan/ contoh yang baik dari keluarganya, keluarga membutuhkan teladan dari masyarakat, masyarakat membutuhkan teladan dari pemimpinnya. 

bagaimana mungkin seorang pendusta mendakwahi rakyatnya untuk bersikap jujur? 

berdakwah tanpa keteladanan tidak akan memberi arti apa-apa, tidak akan didengarkan, bahkan meninggalkan pengaruh buruk pada diri objek dakwah. 
     Keteladanan harus dimulai dari diri sendiri. seorang mukmin sejati wajib memulai sesuatu dari dirinya sebelum dia mengajak orang lain, sehingga akan terlihat dengan jelas bahwa dai melakukan apa yang ia katakan, bukan hanya menjadi tukang bicara. para dai hendaklah menjadi suri tauladan yang baik bagi masyarakat sehingga risalah yang mereka dakwahkan tergambar dalam langkah-langkah mereka. yang berbahaya adalah apabila agama telah berubah menjadi profesi, bukan lagi sebagai akidah serius yang mampu memotivasi. 
      Allah telah memperingatkan hal ini pada QS. Al-Baqarah (44): 
“Apakah kamu menyuruh manusia untuk berbuat baik, dan kau melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab, apakah kamu tidak berpikir “ ( Qs Al Baqarah : 44 ) 

 "(itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan" (QS.As_Saff:3) 

         Karena dakwah yang hanya menjadi profesi adalah dakwah yang akan muncul tanpa ruh, tidak muncul dari hati. oleh karena itu, menjadi keharusan bagi setiap dai untuk mengekspresikan setiap nilai yang hendak disampaikan dalam dakwah melalu ucapan dan perbuatan. dari sinilah, dai wajib untuk bersungguh-sungguh menginstrospeksi diri, sehingga dapat selalu istiqomah dalam ketaatannya, karena jika demikian, apa yang tampak pada lahir sama dengan batin. 
        Tanggung jawab para dai terhadap masyarakatnya seharusnya tidak melupakan tanggung jawab mereka terhadap diri mereka sendiri. kesibukan untuk memperbaiki manusia seharusnya tidak memalingkannya dari memperbaiki keadaan mereka sendiri. hendaknya para dai memelihara dirinya dan membersihkan hatinya serta bermuhasabah terhadap seluruh anggota badannya dengan melakukan perenungan sejenak disela-sela waktunya. dengan selalu berterus terang pada diri sendiri pula, keteladanan dai tidak mudah terlupakan oleh objek dakwah. 

          keteladanan yang baik itu merupakan dakwah amaliyah dan bukan dakwah lisan saja. keteladanan berarti dakwah dengan perilaku sebelum dakwah dengan perkataan 

Taken from: http://lubbna.wordpress.com/2012/09/16/beberapa-kaidah-dari-ushul-fiqih-bimbingan-untuk-dai/. Ushul Fiqih kaidah 1 dalam terjemahan Fiqhud Dakwah 

---------------------

teguran bagi diri sendiri semoga Allah mengampuni hambaNya yg lalai ini

Senin, 22 Oktober 2012

Hal Kecil yang Begitu Berarti

pagi ini, untuk kesekian kalinya dalam 1 bulan ini saya kembali mengunjungi Sekolah dasar itu.
Sebuah sekolah dasar negeri yang terletak di wilayah pedesaan, di kota Malang. Kesempatan untuk mengunjungi sekolah-sekolah (Elementary School) seperti ini tidak akan saya dan teman-teman satu jurusan dapatkan jika tidak mengikuti program KKN seperti.
Seperti kunjungan-kunjungan sebelumnya, kali inipun kami disambut dengan hangat. Bapak kepala sekolah menyambut kami dengan senyum ramahnya,
 “bagaimana mbak, mas? Kali ini apa yang bisa kami siapkan untuk kegiatannya?” tawar beliau dengan tetap mengembangkan senyum di wajahnya.
Sekolah ini memang sangat sederhana, dengan rata-rata jumlah murid sekitar 20 orang tiap kelas, setiap guru harus siap memegang lebih dari 1 kelas tiap harinya, karena memang jumlah tenaga pengajarnya terbatas.

Begitu sederhana, dan bersahaja. Itu image yang begitu terasa disana, sedikit mengingatkan saya pada SD (Sekolah Dasar) saya dulu. saya membayangkan wajah saya pasti sama dekilnya dengan mereka kala itu, hehe. Dulu ibu saya selalu mengingatkan saya untuk selalu menggunakan Topi untuk menutupi kepala, khususnya wajah dari sengatan matahari yang terik, ibu saya pasti prihatin melihat penampakan anak gadisnya yang kucel dan dekil. hobi saya dulu memang berpanas-panasan di lapangan sekolah. Lari-larian, main voli, apapun, yang berhubungan dengan ‘bergerak’ selalu menarik untuk anak-anak.
Baiklah, kembali pada cerita awal.
Beberapa kegiatan kami di sekolah adalah MinUm (Mini Praktikum), Jambore, drama Jajanan sehat, dan Pemilihan Ahli Gizi Cilik. Tentu kegiatan berjalan tidak semudah yang kami bayangkan, meskipun over all, bisa dikatakan sukses.
Menghadapi anak-anak berarti harus melipat gandakan kesabaran kami, hehe. Karena mengatur anak SD membutuhkan tenaga 3-5 kali lebih banyak dibanding mengkoordinir teman-teman kita di perkuliahan. Suara harus lebih lantang, metode komunikasi juga harus lebih menarik, karena monoton sedikit saja mereka pasti sudah ‘sibuk sendiri’, bukan hanya ngobrol ke teman-teman di kanan maupun kiri, tapi lari-lari ke lapangan, bikin bebunyian dengan bangku/meja-meja kelas, sampai joget-joget gak jelas (kalo diinget-inget jadi ketawa-ketiwi sendiri). Tapi gak masalah, because we love kids, dan kita juga pernah jadi mereka jadi... pahamlah apa yang mereka rasakan.
Well, tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan disini (upss, tapi udah terlanjur diceritakan yah? Gak papa deh, bonus cerita^^)
Suatu hari, ketika kegiatan jambore sedang berlangsung, di post terakhir dari rangkaian kegiatan jambore kami memutarkan lagu anak-anak. Maunya sih, selain membuat suasana lebih ceria, kami juga ingin mengenalkan musik-musik anak-anak pada mereka. Tapi tahukah saudara-saudara apa yang mereka katakan pada kami?
kak, lagunya gak kenal semua,kak.... ganti lagu kak..ganti lagu...”rengek mereka
ada lagu dangdut nggak kak?” request mereka
Waduuuh, dibandingkan lagu-lagu seusia mereka, mereka lebih hafal dan mengenal lagu dangdut!. Bukan musik dangdutnya sebenarnya yang saya khawatirkan, tapi lirik lagu-lagunya yang kadang tidak patut untuk konsumsi anak-anak. Setuju gak? Dan secara gak langsung ini berimbas pada pola pikir adek-adek kita ini.
Walaupun sebenarnya hal ini tidak begitu mengejutkan kami, karena memang banyak saya jumpai fenomena seperti ini. Tapi tetap miris melihatnya, wajah adek-adek yang polos ini.... gak rela rasanya kalau mereka terwarnai oleh hal-hal yang kurang baik T_T
Dan sebenarnya, ketika pertama kali mendengarkan musik anak-anak yang kami putarkan, mereka secara reflek menggerakkan badannya sesuai irama lagu yang ceria. Tuh kan, sebenarnya mereka lebih suka dengan lagu anak-anak yang lebih sesuai dengan mereka, tapi karena gak hafal dan gak kenal, lama-lama bosen juga dan yang diminta akhirnya lagu-lagu yang sudah terlanjur familiar ditelinga mereka.
Belum habis keprihatinan saya mereka merequest lagi
“kakak, ada lagu Gangnam style gak kak, puterin dong kak.....”
Gubraaaaaak~
Ternyata fenomena gangnam style sudah menyebar ke pelosok-pelosok desa, ke desa ini juga, bahkan mendahului adanya TPU alias Tempat Pembuangan Umum.
Yah, di desa ini masih banyak, bahkan hampir semua penduduk desanya tidak punya tempat sampah, jadi sampah-sampah yang ada dibakar kira-kira setiap 2-3hari sekali.
Desa dimana kesadaran higienitas dan sanitasi masih dirintis untuk ditanamkan, dimana masih banyak penduduknya yang memilih mandi di Sungai yang tak cukup jernih airnya, yang belum semua penduduk punya kamar mandi pribadi, ternyata sudah lebih dulu  mengenal  gangnam stye dan Hot pant. Miris? Kalau saya iya. Bukan berarti saya mencela kebiasaan-kebiasaan penduduk, bukan...sungguh bukan...Karena mungkin mereka hanya mengikuti saja apa yang ditampilkan dan dipromosikan di media. ini merupakan introspeksi kita bersama. Ternyata misi dan nilai kebaikan yang berusaha kita  tanamkan, masih kurang masif dibandingkan nilai-nilai seperti ini.


Ayo yang ngaku muslim, harus terpacu untuk bergerak, kan islam itu rahmat, dan muslim itu penyebar rahmat. #introspeksi juga pada diri sendiri, karena saya ternyata juga belum bisa menyumbangkan apa-apa yang berarti bagi agama dan bangsa ini, hiks...
Baiklah, kembali lagi ke anak-anak SD.
Selain hal yang mengejutkan, ada juga hal-hal mengharukan yang terjadi.
Di akhir kegiatan kami, ada moment pemberian piala kepada juara ahli gizi cilik. Pemberian piala ini diserahkan oleh bapak kepala sekolah di hadapan para guru dan para siswa. Sebenarnya acara ini terbilang sangat sederhana jika dibandingkan kegiatan dan proker-proker yang kita buat atau saya lihat dikampus. Tidak memakan banyak biaya, bahkan tidak sampai menghabiskan uang  Rp.50.000,- tapi apresiasinya... sangat luar biasa.
Hadiah yang kami siapkan hanyalah dua buah buku tulis beserta bulpen yang dibungkus dengan kertas kado dan satu buah piala kecil untuk sang juara ahli gizi cilik. Karena keterbatasan biaya kami, kami hanya menyediakan 1 piala untuk 1 orang juara.
 Meski sangat seadanya, mereka menerima hadiah kami dengan wajah berseri-seri. Tidak hanya sang juara, tapi juga para guru dan kepala sekolah, semua tampak sangat bahagia.
Ketika piala dikeluarkan, sontak seluruh siswa bersorak dan tepuk tangan, padahal pengumuman pemenang belum juga diumumkan.
Wajah anak-anak ketika melihat piala sederhana kami, ibarat wajah berseri-seri para bajak laut yang berhasil menemukan harta karun #agak lebay, tapi beneran loh.
Dan ketika pak kepala sekolah menyerahkan piala pada sang juara, seorang guru sontak menitihkan air mata haru. Untuk sesaat saya terperangah
“subhanallah..... ternyata sebuah piala berharga 20.000 rupiah dapat mendatangkan begitu banyak kebahagiaan disini”
Saya kembali teringat akan kejadian sehari sebelumnya, percakapan antara kami dan penjual piala
“mbak, ini piala yang kecil harganya 17.000 rupiah saja ya?” tawar teman saya
“waah, gak boleh mbak, yang itu pasnya 20.000” kelit penjualnya.
Piala 20.000 ribu ini bagaikan harta bernilai puluhan juta rupiah bagi adek-adek ini. Begitu sederhana kan mereka?
“Jangan meremehkan perbuatan kebaikan sesuatupun, walau sekadar menyambut kawan dengan muka yang manis” ujar sang nabi
Kebaikan-kebaikan kecil yang menurut kita tak berarti, bisa jadi merupakan hal yang sangat dinanti-natikan oleh orang lain
Kami sedikit menyesal, karena tidak membawakan lebih banyak hadiah untuk mereka. Teman saya menyeletuk
“rasanya pingin banget kembali kesini, ntar deh, kalau aku udah kaya raya, nanti ku kasih hadiah yang banyak adek-adeknya” sesalnya.
Saya dan teman saya yang lain Cuma bisa tersenyum dan mengamini.
Mungkin kami sekarang hanya mahasiswa, yang bahkan belum berpenghasilan, tapi semoga sedikit yang bisa kami bagi ini dapat mendatangkan manfaat bagi mereka. Semoga suatu saat nanti kita bisa menjadi orang yang digambarkan oleh Sang rasul
"Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak mamfaatnya bagi orang lain." (HR. Bukhari dan Muslim)

Rabu, 17 Oktober 2012

Nazhar, Bukan Sekedar Ta’aruf (oleh-oleh dari semusim)

Assalamu'alaykum saudara-saudariku semua,
pada tanggal 6 Oktober kemarin, Lembaga Kerohanian Islam FKUB menyelenggarakan event besar yang bertajuk "Semusim" atau Seminar Muslimah.
inti seminarnya sih mengupas tuntas tentang pernikahan, mulai dari memilih calon yang tepat, hingga kiat-kiat mendidik anak yang hebat.
and here is one of the topic that we discuss. dari ustadz salim A. fillah,  semoga bermanfaat :)


Engkaulah itu minyak atar
Meskipun masih tersimpan
Dalam kuntum yang akan mekar
-Iqbal, Javid Namah-

        “Seandainya kami bisa membelikan janggut untuk Qais dengan harta kami”, kata orang-orang Anshar, “Niscaya akan kami lakukan.” Semua sifat dan jiwa kepemimpinan memang ada pada pemuda ini. Nasabnya juga terkemuka lagi mulia. Kecuali, ya itu tadi. Janggut. Salah satu simbol kejantanan dalam kaumnya yang sayangnya tak dimilikinya. Wajahnya licin dan bersih.

         Namanya Qais ibn Sa’d ibn ‘Ubadah. Ayahnya, Sa’d ibn ‘Ubadah, pemimpin suku Khazraj di Madinah. Rasulullah menyebut keluarga ini sebagai limpahan kedermawanan. Ketika para muhajirin datang, masing-masing orang Anshar membawa satu atau dua orang yang telah dipersaudarakan dengan mereka ke rumahnya untuk ditanggung kehidupannya. Kecuali Sa’d ibn ‘Ubadah. Dia membawa 80 orang muhajirin ke rumahnya!

          Saat masuk Islam, Sa’d ibn ‘Ubadah menyerahkan sang putera kepada Rasulullah. “Inilah khadam anda wahai Nabi Allah”, ujar Sa’d. Tapi menurut Anas ibn Malik, Qais lebih pas disebut ajudan Sang Nabi. 
           Dan air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Dalam pergaulannya di kalangan pemuda, Qais sangat royal seperti bapaknya di kalangan tua-tua. Tak terhitung lagi sedekah dan dermanya. Tak pernah ditagihnya piutang-piutangnya. Tak pernah diambilnya jika orang mengembalikan pinjaman padanya.
           
            Kedermawanan Qais begitu masyhur di kalangan muhajirin hingga menjadi bahan perbincangan. Sampai-sampai suatu hari Abu Bakr Ash Shiddiq dan ‘Umar ibn Al Khaththab berbicara tentangnya dan berujar, “Kalau kita biarkan terus pemuda ini dengan kedermawanannya, bisa-bisa habis licinlah harta orangtuanya!
           Pembicaraan ini sampai juga ke telinga sang ayah, Sa’d ibn ‘Ubadah. Apa komentarnya? Menarik sekali. “Aduhai siapa yang dapat membela diriku terhadap Abu Bakr dan ‘Umar?!”, serunya. “Mereka telah mengajari anakku untuk kikir dengan memperalat namaku!” Mendengarnya para sahabat pun tertawa. Lalu Abu Bakr dan ‘Umar meminta maaf padanya.

          Ah, Qais dan Sa’d. Ayah dan anak ini sebaris di jalan cinta para pejuang. Tak ada bedanya.

♥♥♥
          Inilah salah satu ciri yang menonjol dari zaman yang mulia itu. Pewarisan karakter yang sangat kental dari para ayah kepada para anak. Seperti dari Sa’d ibn ’Ubadah kepada Qais yang telah kita bicarakan. Di belakang nama orang Arab selalu terderet nama ayah-ayah mereka. Mungkin salah satu hikmahnya adalah identifikasi. Tak cuma identifikasi keturunan siapa. Tapi juga wataknya. Kalau kau ingat bapaknya dulu punya suatu sifat mulia, demikian pula kurang lebih anaknya.

          Itulah zaman di mana orangtua benar-benar dituakan oleh anaknya, dan mereka mendapatkan pendidikannya di madrasah yang tanpa libur dan tanpa jeda. Di rumahnya. Tempat di mana mereka belajar bukan hanya dari apa yang terucap, tapi apa yang dilakukan oleh ayah bundanya. Orangtua adalah guru yang sebenar-benarnya. Mereka digugu, ditaati karena integritas di hadapan anak-anaknya. Dan ditiru, karena memang semua perilakunya membanggakan untuk dijadikan identitas.

          Maka jadilah masyarakat itu masyarakat yang punya tingkat saling percaya amat tinggi. Kalau kau mau menikahi Hafshah, tak perlu berkenalan dengan Hafshah. Lihatlah saja ’Umar, bapaknya. Nah, Hafshah kurang lebih ya seperti bapaknya. Kalau mau menikah dengan ’Aisyah, tak perlu engkau mengenal ’Aisyah. Coba perhatikan Abu Bakr. Nah, ’Aisyah tak beda jauh dengannya. Maka dalam gelar pun mereka serupa; Abu Bakr dijuluki Ash Shiddiq, dan ’Aisyah sering dipanggil Ash Shiddiqah binti Ash Shiddiq.

          Dari sinilah saya berargumen pada sebuah seminar pernikahan yang membuat para pesertanya nyaris tersedak. Ada yang memberi pernyataan, ”Di dalam Islam kan tidak ada pacaran, yang ada ta’aruf.” Kata saya, ”Ta’aruf? Tidak ada dalilnya. Tidak ada asal dan contohnya dari Rasulullah maupun para shahabat. Ini istilah umum yang dipaksakan menjadi istilah khusus pernikahan. Sedihnya lagi, ada yang  menyalahgunakannya. Mengganti istilah, dengan hakikat dan isi yang nyaris sama dengan pacaran. Na’udzu billaahi min dzalik.”

           Maafkan sekiranya saya berlebihan. Tapi begitulah. Kata ta’aruf artinya ’saling mengenal’ hanya kita temukan dalam Al Quran dalam konteks yang umum.

         ”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al Hujuraat 13)
♥♥♥

          Tetapi tentu saja sebuah pernikahan yang dimulai dengan hanya mengandalkan rasa saling percaya di dalam suatu masyarakat menjadi penuh resiko di kelak kemudian hari. Apalagi hari ini, ketika kita mudah oleng, tak teguh berpijak pada wahyu dan nurani. Beberapa halaman lewat, pada tajuk Berkelana dalam Pilihan kita sudah menyimak kisah Habibah binti Sahl yang akhirnya memilih mengajukan pisah dari suaminya, Tsabit ibn Qais. Mengapa? Habibah mengukur kekuatan dirinya yang ia rasa takkan sanggup bersabar atas kondisi suaminya yang menurutnya, ”Paling hitam kulitnya, pendek tubuhnya, dan paling jelek wajahnya.”

            Ya, masalahnya adalah Habibah belum pernah melihat calon suaminya itu. Belum pernah. Sama sekali belum pernah. Mereka baru bertemu setelah akad diikatkan oleh walinya. Sebelum berjumpa, dalam diri Habibah muncul harapan sewajarnya akan seorang suami. Dan harapan itu, karena ketidaksiapannya, karena ia belum pernah melihat sebelumnya, menjadi tinggi melangit dan tak tergapai oleh kenyataan. Ia dilanda kekecewaan. Mungkin kisahnya akan lain jika Habibah telah melihat calon suaminya sebelum pernikahan terjadi. Ia punya waktu untuk menimbang. Ia punya waktu untuk bersiap. Ia punya waktu untuk, kata Sang Nabi, ”Menemukan sesuatu yang menarik hati pada dirinya.”

           Dalam riwayat Imam Abu Dawud, Jabir ibn ’Abdillah mendengar Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam bersabda, ”Jika salah seorang dari kalian hendak meminang seorang perempuan, jika mampu hendaklah ia melihatnya terlebih dahulu untuk menemukan daya tarik yang membawanya menuju pernikahan.” Maka ketika Jabir hendak meminang, ia rahasiakan maksudnya, dan ia melihat kepada wanita Bani Salamah yang hendak dinikahinya. Ia menemukannya. Hal-hal yang menarik hati pada wanita itu, yang mebuatnya memantapkan hati untuk menikahi.

          Al Mughirah ibn Syu’bah Radhiyallaahu ’Anhu, sahabat Rasulullah yang masyhur karena kehidupan rumahtangganya yang sering dilanda prahara sejak zaman jahiliah, suatu hari ingin meminang seorang shahabiyah, seorang wanita shalihah. Maka Sang Nabi pun berkata padanya, ”Lihatlah dulu kepadanya, suapaya kehidupan kalian berdua kelak lebih langgeng.”

          Subhanallah, inilah pernikahan terakhir Al Mughirah yang lestari hingga akhir hayatnya. Padahal sebelumnya entah berapa puluh wanita yang pernah menemani hari-harinya. Penuh dinamika dalam nikah dan cerai. Itu di antaranya disebabkan ia tak pernah melihat calon isterinya sebelum mereka menikah. Maka dengan menjalani sunnah Sang Nabi, Al Mughirah mendapatkan doa beliau, mendapatkan ikatan hati yang langgeng dan mesra. Demikian disampaikan kepada kita oleh Imam An Nasa’i, Ibnu Majah, dan At Tirmidzi.
Dari mereka kita belajar bahwa syari’at mengajari kita untuk nazhar. Melihat. Melihat untuk menemukan sesuatu yang membuat kita melangkah lebih jauh ke jalan yang diridhai Allah. Melihat untuk menemukan sebuah ketertarikan. Itu saja. Bukan mencari aib. Bukan menyelidiki cela. Bukan mendetailkan data-data. Lihatlah kepadanya. Itu saja. Tentu dengan mestarikan prasangka baik kita kepada Allah, kepada diri, dan kepada sesama.

           Di jalan cinta para pejuang, kita melestarikan nilai-nilai nazhar; berbaik sangka kepada Allah, menjaga pandangan dalam batas-batasnya, dan selalu mencari hal yang menarik. Bukan sebaliknya..
Keluarkan Kucing dari Karungnya

jangan kau kira cinta datang
dari keakraban dan pendekatan yang tekun
cinta adalah putera dari kecocokan jiwa
dan jikalau itu tiada
cinta takkan pernah tercipta,
dalam hitungan tahun, bahkan millenia
-Kahlil Gibran-

        Jika nazhar telah kita lakukan, sungguh kita telah mengeluarkan kucing dari karungnya. Tak lagi membeli kucing dalam karung. Karena kucing juga tak suka dimasukkan dalam karung. Karena kita juga tak ingin menikah dengan kucing.
         Tapi nazhar itu cukuplah sedikit saja.

        Adalah Malcolm Gladwell, wartawan The New Yorker yang setelah sukses dengan buku Tipping Point-nya, lalu berkelana penjuru Amerika untuk menulis dan merilis buku barunya, Blink: The Power of Thinking without Thinking. Buku tentang berfikir tanpa berfikir. Buku tentang dua detik pertama yang menentukan. Yang dengan pertimbangan dua detik itu, keputusan yang dihasilkan seringkali jauh lebih baik dari riset yang menjelimet. Dalam bukunya, Gladwell membentangkan puluhan riset yang kuat validitasnya dari berbagai ilmuwan terkemuka untuk menjabarkan tesisnya.
         
           Dua detik pertama mencerap dengan indera itu menentukan. Mahapenting.
Sejalan dengan riset-riset yang dibabarkan Malcolm Gladwell, Kazuo Murakami, ahli genetika peraih Max Planck Award 1990 itu berkisah bahwa para ilmuwan yang begitu tekun belajar untuk menguasai disiplin ilmunya hingga ke taraf ahli, acapkali tak pernah menghasilkan penemuan besar. Justru ilmuwan yang ‘tak banyak tahu’ seringkali menghasilkan dobrakan-dobrakan mengejutkan. Penemuan akbar.

         “Mengapa terlalu banyak tahu terkadang menghalangi kita?”, kata Murakami dalam buku The Divine Message of The DNA. “Sebenarnya bukan informasi itu sendiri yang pada dasarnya buruk; tetapi mengetahui lebih banyak daripada orang lain dapat membuai kita untuk mempercayai bahwa keputusan kita lebih baik.”

           Padahal seringkali dengan banyaknya informasi membanjir, kemampuan otak kita untuk memilah mana informasi yang berguna dan mana yang tak bermakna menjadi menurun. Otak kita bingung menentukan prioritas. Fakta yang kita anggap penting ternyata sampah. Sebaliknya, hal kecil yang kita remehkan justru bisa jadi adalah kunci dari semuanya. Maka, merujuk pada Gladwell dan Murakami, kita memang tak perlu tahu banyak hal. Cukup mengetahui yang penting saja.

         Begitu juga tentang calon isteri, calon suami, calon pasangan kita. Kita tak perlu tahu terlalu banyak. Cukup yang penting saja.

          Alkisah, seorang lelaki hendak menikah. Maka satu hal saja yang ia persyaratkan untuk calon isterinya; memiliki tiga kelompok binaan pengajian yang kompak padu. Ketika mereka bertemu untuk nazhar sekaligus merencanakan pinangan, sang wanita berkata, “Maaf, saya tidak bisa memasak.” Ini ujian Allah, batin si lelaki. Bukankah dia hanya meminta yang memiliki binaan pengajian? Mengapa harus mundur, ketika sang calon tak bias memasak?

         “Insyaallah di Jogja banyak rumah makan”, begitu jawabnya sambil menundukkan senyum.
“Dan saya juga tidak terbiasa mencuci.
              Kali ini senyumnya ditahan lebih dalam. Kebangetan juga sih. Tapi ia tahu, ini ujian. Maka katanya, “Insyaallah di Jogja banyak laundry.”

                Ia, sang lelaki tahu apa yang penting. Kejujuran. Keterbukaan. Itu sudah ditunjukkan oleh sang wanita dengan sangat jelas, sangat ksatria. Ia berani mengakui tak bisa memasak dan tak bisa mencuci. Tanpa diminta. Dua hal yang kadang membuat lelaki rewel. Tetapi dia adalah lelaki yang berupaya selalu memiliki visi dan misi. Maka dia mendapatkan sesuatu yang berharga; seorang wanita yang memiliki tiga kelompok binaan kompak padu. Dan itu sangat berarti bagi visi dan misinya dalam membangun keluarga. Selebihnya, siapa juga yang mencari tukang cuci dan tukang masak? Yang dia cari adalah seorang isteri, bukan kedua macam profesi itu.

              Dan tahukah anda? Setelah pernikahan berjalan beberapa waktu, ketika merasa diterima apa adanya oleh suami tercinta, sang isteripun mencoba memasak. Ternyata ia pandai. Hanya selama ini ia tak pernah mencoba. Masakannya lezat, jauh melebihi harapan sederhana sang suami. Begitu juga dalam hal-hal lain. Banyak kejutan yang diterima sang suami. Jauh melebihi harapan-harapannya. Dulu, dia memang tak terlalu banyak tahu tentang calon isterinya. Ia cukup mengetahui yang terpenting saja.

          Dua detik itu sangat menentukan. Mungkin karena dalam dua detik itulah ruh saling mengenal. Mereka saling mengirim sandi. Jika sandi dikenali, mereka akan bersepakat, tanpa banyak tanya, tanpa banyak bicara. Karena sesudah itu adalah saatnya bekerja mewujudkan tujuan bersama. Segera. Jangan ditunda-tunda.

“Ruh-ruh itu ibarat prajurit-prajurit yang dibaris-bariskan. Yang saling mengenal diantara mereka pasti akan saling melembut dan menyatu. Yang tidak saling mengenal diantara mereka pasti akan saling berbeda dan berpisah.” (HR Al Bukhari [3336] secara mu’allaq dari ’Aisyah, dan Muslim [2638], dari Abu Hurairah)

            Ruh itu seperti tentara. Ada sandi di antara mereka. Jika sandi telah dikenali, tak perlu banyak lagi yang diketahui. Cukup itu saja. Mereka akan bersepakat. Mereka adalah sekawan dan sepihak. Mereka akan bergerak untuk satu tujuan yang diyakini. Jadi apakah yang menjadi sandi di antara para ruh?  
Iman. 
           Tentu saja. Kadar-kadarnya akan menerbitkan gelombang dalam frekuensi yang sama. Jika tak serupa, jika sandinya tak diterima, ia telah berbeda dan sejak awal tak hendak menyatu.

          ”Iman”, kata Sayyid Quthb dalam Fii Zhilaalil Quran, ”Adalah persepsi baru terhadap alam, apresiasi baru terhadap keindahan, dan kehidupan di muka bumi, di atas pentas ciptaan Allah, sepanjang malam dan siang. Dan inilah yang diperbuat keimanan. Membuka mata dan hati. Menumbuhkan kepekaan. Menyirai kejelitaan, keserasian, dan kesempurnaan.” Maka biarlah dia yang menjadi ratu penentu, di dua detik pertama nazhar kita.

            Di jalan cinta para pejuang, kita melestarikan nilai-nilai nazhar; berbaik sangka kepada Allah, menjaga pandangan dalam batas-batasnya, dan selalu mencari hal yang menarik. Bukan sebaliknya. Di jalan cinta para pejuang, yang terpenting bukanlah seberapa banyak engkau tahu, tapi bahwa engkau mengetahui yang memang bermakna bagimu. Dan bahwa Allah selalu bersamamu.

kecocokan jiwa memang tak selalu sama rumusnya
ada dua sungai besar yang bertemu dan bermuara di laut yang satu; itu kesamaan
ada panas dan dingin bertemu untuk mencapai kehangatan; itu keseimbangan
ada hujan lebat berjumpa tanah subur, lalu menumbuhkan taman; itu kegenapan
tapi satu hal tetap sama
mereka cocok  karena bersama bertasbih memuji Allah
seperti segala sesuatu yang ada di langit dan bumi, ruku’ pada keagunganNya