Senin, 29 Juni 2015

Ini Alasan Khalid, apa alasanmu?


Terkisah bahwa, sahabat Rasulullah yang berjuluk “saifullah al-maslul” (pedang Allah yang selalu terhunus), Khalid bin Al-Walid radhiyallahu ‘anhu dulu, setiap kali mengambil Mushaf Al-Qur’an untuk membacanya, beliau selalu menangis seraya berkata: Kami telah tersibukkan darimu (wahai Al-Qur’an) oleh jihad!

Nah, jika sang panglima jihad islami sepanjang sejarah senantiasa menangis dengan penuh rasa bersalah karena menurutnya beliau kurang banyak membaca Kitabullah, dengan alasan syar’i yang demikian indah, mulia dan agung, yakni kesibukan beliau dalam berjihad fi sabilillah, yang tak lain adalah dalam rangka memperjuangkan dan membela ajaran serta nilai-nilai Al-Qur’an itu sendiri. Ya jika kesibukan jihadlah alasan Sayyidina Khalid sehingga agak jarang tilawah, lalu apakah gerangan alasan logis kita ketika selama ini masih juga sering bersikap kurang akrab dengan Kalamullah? Bahkan mungkin ada yang sampai seolah-olah tengah "berseteru" dengannya, karena begitu langkanya ia "menyapa"-nya?

Dan apakah kita juga menangis karenanya, seperti sahabat Khalid radhiyallahu ‘anhu dulu menangis?

Mari bertobat dan beristighfar..! Mari menangis dengan penuh rasa bersalah dan berdosa kepada Allah, karena selama ini telah lebih sering jauh dengan Kitab-Nya, Al-Qur’an Al-Karim! Dan jika ternyata sulit untuk bisa menangis karena itu, maka sudah sepantasnyalah kita menangisi kerasnya hati yang telah demikian membatu karena tidak atau jarang tersirami oleh hujan barakah Al-Qur’an!

Mari selalu “menyapa” Al-Qur’an, mengakrabinya seakrab-akrabnya, dan mengharmoniskan hubungan kita dengannya, seharmonis-harmonisnya! Sehingga, dengan demikian, barakah Allah-pun insyaallah akan senantiasa “menyapa” kita, mengakrabi kehidupan kita, dan mengharmoniskan setiap langkah hidup kita dengan hidayah, inayah dan taufiq Allah ‘Azza wa Jalla!

Aamiin!

Salam spesial Ramadhan dari hamba pendosa, pengharap doa hamba-hamba bertaqwa 
(H. Ahmad Mudzoffar Jufri).

Jumat, 26 Juni 2015

Taujih Ramadhan


Setiap perintah Allah selalu memiliki tujuan/hikmah. Begitu juga dengan perintah berpuasa. hikmah atau tujuan ibadah puasa adalah menjadikan diri kita insan yang bertaqwa pada Allah swt. Lantas seperti apakah ciri orang yang bertaqwa itu? 
Orang yang bertaqwa adalah meraka yang :
1. Memiliki jiwa dermawan. Karena komitmen dari seoang yg bertaqwa mengenai harta/materi adalah 'bukan merupakan sebuah tujuan'. Mereka tak pernah menjadikan materi sebagai obsesi. Sehingga, saat ia dalam kondisi lapang maupun sempit, ia akan senantiasa 'ringan berinfaq'.

2. Mampu menstabilkan emosi, sehingga berpikirnya jernih. Obyektifitas penilaian maupun keputusan dari manusia yang mudah dikuasai emosi jiwanya selalu patut dipertanyakan. Karena tingkat ketergantungan dan relatifitas dari penilaiannya selalu mengacu pada kondisi jiwanya. Maka, orang yang bertaqwa adalah yang jiwanya mudah memaafkan. Sehingga ia tak pernah terbebani dengki atau iri hati.
 Puasa yang merupakan perisai diri, adalah ibadah yang mendidik kita untuk mengekang nafsu, sehingga hati, jiwa dan pikiran mampu berdiri tegak tanpa tergantung atau dipermainkan olehnya. Seseorang yang telah melalui puasa harusnya mampu meningkatkan kualitas dirinya untuk menyempurnakan ketaqwaannya. Lantas bagaimana dengan kita? Telah berapa ramadhan kita lalui? Dan nampakkah hasilnya?
Apabila puasa yang dilakukan tak menghasilkan ciri-ciri orang bertaqwa, maka mungkin puasa yang kita lakukan masih bersifat struktural, belum fungsional. Karena belum merealisasikan hasil setelah ramadhan usai.

Adapun saat kita mampu menjalankan puasa dengan sebaik-baiknya, maka manfaat yang diterima seorang hamba antara lain:
1. Senantiasa diberkahi hidupnya oleh Allah. Diberikan kebaikan dan petunjuk
2. Mampu membedakan kebaikan dan keburukan. Karena hatinya senantiasa disinari oleh cahaya petunjuk Allah

Wallahu 'alam bisshowab

@masjid An-Nur sidoarjo

Kamis, 11 Juni 2015

Dalam perjalanan

Ada kabut putih disepanjang mata memandang.
Suasana senyap, aku benci pekat!
Sesekali langkahku terhenti, menoleh kembali ke belakang. 
"Alangkah baiknya jika aku kembali saja. Ke pondok kecilku yg nyaman", selintas pikirku kemudian.
Ah..,,Tidak bisa! Kini tak ada pilihan selain terus melangkah.
Tapi bagaimana jika nanti ku binasa? Tak ada jaminan ku kan selamat hingga ujungnya.
Bukankah sama saja? Tetap disini pun bukan suatu solusi, karna perlahan jiwaku bisa mati.
Ku mohon sadarlah wahai diri! Jejak kaki yang perlahan pudar bak erosi bukan untuk disesali.
Adalah suatu ketetapan matahari berevolusi memisahkan hari demi hari,
Pun suatu keniscayaan kegelapan yang hadir meneduhkan teriknya terang, selayaknya terang yang hadir tepiskan suramnya malam.
Mengapa harus bertanya mengapa, jika semua terukur cermat dalam neracaNya?
Mengapa pula harus keluhkan "andai saja", jika yang terbaik sudah tertulis dalam ketetapanNya?
Wahai hati teguhlah,
Wahai kaki teruslah melangkah,
Wahai diri tersenyumlah,
Kuatlah, yakinlah, berusahalah tanpa kenal lelah, bosan, dan menyerah.
Setebal apapun kabut ini, ia kan sirna jua
Sepekat apapun ia, suatu saat kan datang cahaya,
Yakinlah, sepanjang kakimu terus melangkah, sepanjang dirimu terus berupaya,
Suatu saat kan kau dapat jawabnya.
Tak perlu kau kabarkan pada siapa, tak perlu kau rincikan bagaimana,
Cukup kau yakini, "Ia Maha Tahu segalanya"


'Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir' (Qs.Yusuf:87)