Sabtu, 12 Juli 2014

Menikmati Perjuangan 'Summer Ramadhan' di Inggris

By Ummi shiddiq

Ramadhan tahun ini di tempat kami tinggal kembali jatuh pada musim panas di mana muslim di Inggris berpuasa (fasting) sekitar 19 jam, dimulai dari batas sahur sebelum jam 3 pagi dan mulai berbuka lagi malam sebelum jam 10 malam; jauh lebih panjang dibanding di Indonesia yang rata-rata sekitar 12-13 jam, dan selalu sama tiap tahunnya.

Sebenarnya ‘summer Ramadhan’ bukan hal yang baru sama sekali karena kami sudah mulai menjalankannya 4 tahun yang lalu di mana saat itu puasa mesti dijalani sekitar 17 jam setiap harinya.
Teringat ketika kami melalui Ramadhan pertama kami di Inggris 15 tahun yang lalu, begitu mudah dilalui karena bersamaan dengan musim dingin (winter). Puasa tiap harinya kurang dari 10 jam, ditunjang dengan udara dingin sehingga tidak merasakan haus – berbeda jika cuaca sedang panas. Di satu riwayat, Khalifah Umar RA dan Abu Huraihah RA mengibaratkan berpuasa di musim dingin seperti memperoleh pampasan perang (ghanimah) tanpa harus berperang – istilahnya seperti ‘rezeki nomplok’.  Saya tahu persis makna dari kalimat ini karena saya sendiri merasa sangat beruntung karena lewat winter Ramadhan anak-anak bisa diajarkan untuk mulai berpuasa penuh sejak usia mereka masih sangat dini tanpa ada masalah.  Menjalankan puasa sunat selama winter juga terasa sangat mudah dan bisa dijadikan kesempatan emas untuk meraup jumlah puasa sebanyak-banyaknya, menumpuk amal. Layaknya seperti kisah Ali Baba yang sedang mengumpulkan emas sebanyak2nya di dalam gua harta karun; Ali Baba di sini adalah seorang muslim, emas adalah ibadah puasa dan gua harta karun adalah musim dingin.

Tahun berganti, Ramadhan turut bergeser dari winter ke spring (musim semi) hingga akhirnya masuk ke summer (musim panas) di mana siang bisa sepanjang 17-21 jam dan suhu sekitar 28C.  Pertama kali menyadari akan menjalani summer Ramadhan 4 tahun yang lalu, saya memiliki banyak keraguan.  Bisakah saya melalui 17 jam tanpa air dan makanan di tengah cuaca yang panas? Sanggupkah saya melalui aktivitas sehari2 di rumah dan kantor dengan kurang makan dan tidur? Bisakah anak-anak, walaupun mereka sudah terbiasa berpuasa dan sudah lebih besar, bertahan hingga waktu berbuka?

Saya mencari tahu bagaimana muslim Eropa selama ini menjalankan summer Ramadhan dan belajar mengenali beberapa fatwa.  Sebenarnya apa yang kami lalui tidak seberapa dibanding muslim di belahan utara Eropa, seperti Finlandia atau Islandia, di mana pada bulan-bulan tertentu matahari tidak pernah sungguh-sungguh terbenam.

Ulama di Eropa membolehkan mereka yang berpuasa lebih dari 18 jam untuk mengacu jadwal shalat dan puasa ke negara terdekat yang memiliki jadwal matahari terbenam dan terbit yang lebih teratur seperti Saudi Arabia, Mesir atau Turki.  Ini terutama untuk mereka yang tinggal di mana matahari selalu terbit 24 jam.  Tapi selama batas matahari terbenam masih jelas walaupun sangat lama, muslim lebih dianjurkan untuk berupaya mengikuti waktu lokal dengan merujuk ke Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 187:

”… dan makan minumlah hingga terang bagimu benang: putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam…”

Seorang kenalan yang tinggal di Finlandia, memilih untuk berpuasa mengikuti waktu Mekah – 18 jam sehari karena merasa itu sesuai kemampuannya dan tetap mengikuti fatwa.

 Sementara seorang pemilik toko asal Lebanon yang tinggal di sebuah pulau dekat Islandia lebih memilih untuk berpuasa lebih dari 22 jam, sesuai waktu lokal.  Alasannya? Dia percaya dia dan keluarganya adalah satu2nya muslim di pulau itu, dan dia berharap dengan ibadah Ramadhannya yang berat dan panjang, rahmat Allah terus tercurah untuk pulau kecil itu beserta penduduknya. Masya Allah, sungguh saya tercekat mendengar jawaban beliau yang sangat inspiratif sehingga saya bertekad, selama masih sehat wal ‘afiat, untuk ikut berupaya sekuatnya berpuasa mengikuti waktu lokal betapapun panjangnya.

Ramadhan paling berat yang saya rasakan adalah dua tahun terakhir ini di mana panjang puasa mencapai 21 jam. Tahun lalu Inggris diterpa heatwave selama Ramadhan. Heatwave adalah periode yang sangat panas di mana suhu bisa mencapai 36 celsius. Mungkin dengan suhu seperti itu kedengarannya biasa terjadi di beberapa tempat di Indonesia.  Tapi perbedaannya dengan heatwave, matahari terasa sangat besar dan dekat tanpa angin dan awan untuk pereda panas, mengakibatkan hawa udara terasa sangat kering, dan hal ini bisa berlangsung berhari-hari hingga aspal jalanan atau tiang lampu listrik bisa sampai meleleh.  Beberapa teman muslim di kantor memutuskan untuk membatalkan puasa karena merasa tidak sanggup lagi.  Saya sendiri hampir-hampir tidak kuat. Untuk menyiasatinya saya memilih mengambil banyak cuti kerja dan lebih banyak berdiam di rumah.

Minggu pertama penuh dengan serangan sakit yang hebat di kepala dan kerongkongan terasa begitu kering dan menggumpal. Saya banyak mengeluh dan mengadu kepada Allah, mengapa ibadah harus sedemikian berat? Bukankah Islam itu mudah dan Allah tidak suka memberatkan hambanya? Kepada kolega non muslim saya berupaya terlihat bugar dan memaparkan teori penghibur saya tentang keadilan antara winter Ramadhan yang sangat mudah untuk mengimbangi summer Ramadhan yang panjang dan berat. Tapi di dalam hati sejujurnya saya merasa berat menjalani hari-hari yang sangat panas dan panjang, terutama tanpa air. Mood saya juga naik turun karena letih menyemangati  diri sendiri dan anak-anak dengan badan yang kian lemah.  Sebagai ibu saya juga merasa dilematis, khawatir jika ada yang jatuh sakit tapi di satu sisi ingin mereka bisa bertahan dan belajar bersabar untuk menguatkan dien mereka. Subhanallah, kedua remaja saya justru malah menolak jika dianjurkan untuk berbuka awal walaupun sudah terlihat lemah.  Malahan mereka lebih cepat beradaptasi dengan panas terik dan kegiatan sekolah.

Kegiatan ifthar atau berbuka juga harus dimanfaatkan seefektif mungkin karena sangat pendek; berbuka dan makan, salat dan tarawih, serta sahur semua harus bisa dijalani dalam waktu 3 jam di tengah malam.  Belakangan kami merasa cukup makan sekali pada saat berbuka. Sahur biasanya cukup dengan air atau susu dan sekerat roti kering atau kurma karena  masih merasa kenyang.  Dampaknya siang hari kami cepat merasa letih karena kurang tidur, kurang makan dan air, ibadah dan kegiatan siang juga terasa berjalan sangat lambat.

Minggu kedua, kami mulai terbiasa dengan rutinitas Ramadhan dengan rasa lapar dan dahaga yang panjang.  Saya pun mulai mengurangi keluhan, aktivitas di rumah dan kantor juga perlahan kembali normal seperti semula.  Sakit kepala juga sudah banyak berkurang dan saya bisa lebih berkonsentrasi dengan ibadah dan aktivitas lainnya.

Minggu ketiga dan keempat, Ramadhan sudah menjadi bagian dari gaya hidup kami: Makan cukup sekali dan menunya juga lebih sehat dengan lebih banyak porsi sayur dan buah; cukup minum air, jus dan susu, tidur malam yang sedikit dikompensasi dengan 2 waktu tidur: setelah subuh sampai waktu kerja/sekolah, dan setelah asar.  Begitu hingga Ramadhan pun berakhir.

Seusai summer Ramadhan yang terberat, saya berupaya merefleksikan diri. Walaupun terasa berat di awalnya, dengan pertolongan Allah SWT kami  dapat memenuhi ibadah puasa. Ternyata niat yang teguh bertekad untuk bisa berpuasa sepanjang waktu setempat yang sudah ditetapkan Allah adalah modal awal yang sangat krusial; dan niat itu harus terus ditegaskan setiap hari sebagai pengingat. Summer Ramadhan juga banyak mengajarkan saya untuk lebih disiplin dalam memanfaatkan dan mengorganisasi waktu; belajar untuk bisa lebih menahan diri untuk tetap stabil, self-control, berupaya lebih bersabar menahan keletihan dari lapar haus dan sakit sehingga tidak mempengaruhi emosi dalam beribadah dan bermuamalah.

Secara scientific manusia sesungguhnya mampu bertahan hidup sehat dengan makan sekali sehari dengan menu seimbang.  Saya hanya cukup menahan lapar haus selama 21 jam dan paling tidak tahu bahwa pada akhir puasa akan ada hidangan yang memuaskan dahaga dan lapar, dan hanya berlangsung selama sebulan. Lain halnya untuk sebagian orang, mereka tidak punya pilihan tapi harus terus berpuasa bahkan di luar Ramadhan dan tidak ada jaminan akan ada hidangan tersedia saat berbuka.

Yang paling berkesan buat saya adalah saat di mana saya berada pada posisi terendah sebagai manusia, dengan sakit kepala yang luar biasa dan lapar haus yang mencekam, saya hanya bisa meratap kepada Allah – memohon belas kasihan dan pertolongan-Nya. Betapa tidak berdayanya saya hanya dengan sedikit kurang makan dan minum, betapa terasa menderitanya saya di tengah hawa yang panas, menyadarkan bahwa sungguh kecil dan lemah diri ini. Semua itu seperti mengembalikan kedudukan saya sebagai hamba-Nya yang cuma bisa bergantung kepada yang Maha Penguasa, Allah SWT. Maka sungguh sangat tidak pantas jika di kemudian hari saya jadi malas bersyukur dan merasa sombong dengan segala nikmat ini.

Usai summer Ramadhan, saya sudah merindukan lagi untuk bisa menikmati perjuangan itu kembali. Saya ingat puasa terakhir di tanah kelahiran yang bagi saya terasa sekadar menahan lapar haus tanpa kesulitan berarti. Saya jadi malas berupaya untuk berkomunikasi yang sesungguhnya, to create a meaningful connection, dengan Allah. Saya mulai kehilangan makna Ramadhan yang sejati dan puasa menjadi hanya sekedar rutinitas. Di tanah empat musim ini di mana Ramadhan setiap tahunnya selalu dinamis dan tidak sama, saya seperti menemukan kembali arti lapar dan dahaga sesungguhnya, mengenali lagi arti pasrah dan tawakal dengan berharap dan menggantungkan diri sepenuhnya hanya kepada Allah ta’ala. Semoga buah summer Ramadhan ini bisa terus saya jaga dan nikmati, hingga perjumpaan di Ramadhan berikutnya. Insya Allah.

Source: dakwatuna.com

Masya Allah... Malu rasanya kalau kita di Indonesia yg cuma puasa 13 jam tiap tahunnya masih banyak mengeluh.
Ayuk,, tak terasa setengah ramadhan telah terlewati sudah, mari yang setengah ini kita maksimalkan sebisa kita :)