Minggu, 26 Juni 2011

Senjata terampuh seorang muslim

   
      Senjata terampuh seorang muslim = doa. ketika segala upaya telah diusahakan, ketika segala ikhtiar telah dilakukan, ketika semua kemungkinan sudah berusaha diperjuangkan, namun hasilnya tetap nihil, maka satu-satunya yang bisa dilakukan adalah menggunakan senjata terampuh kita, yaitu doa

jika usaha kita terbatas, maka ada Allah yang Maha kuasa.

          saya percaya dan yakin itu, selalu berusaha berbaik sangka pada Allah. karena memang Allah sesuai prasangka hamba-hambaNya. dan Allah akan menjawab semua doa yang dipanjatkan pada-Nya.
untuk hal-hal yang tidak kita minta saja Allah tak pernah absen untuk memberi, maka untuk doa-doa yang kita panjatkan, bersiaplah untuk menerima lebih dari yang kita minta.

        dan hari ini lagi-lagi Allah menunjukkan kuasa-Nya, ketika masalah datang, berat, segala hal telah diusahakan, namun, gambaran akan hasil kedepan tidak akan sebaik yang kita inginkan, bahkan kebalikan dari yang kita harapkan,
           ketika hanya pasrah yang bisa kita lakukan, saya hanya bisa meminta pada Allah, atas apa yang saya tidak kuasa mengaturnya, karna Dia-lah yang Maha Kuasa. Dia-lah yang maha Mengetahui yang terbaik untuk hamba-Nya.
           dan keajaiban itu datang secara tiba-tiba. dengan begitu mudahnya. rasanya sulit untuk saya percaya, tapi beginilah jika Allah sudah berkehendak, segala tampak begitu mudah, begitulah jika Allah sudah memudahkan. tak terhitung sudah berapa kali sebuah permasalahan teratasi sebuah doa :)

begitu bersyukurnya saya, ada Allah, sebaik-baiknya tempat mengadu,sebaik-baiknya tempat meminta.

sungguh, kenikmatan terbesar bagi seorang muslim adalah, kita punya Allah sebagai Rabb kita.

Alhamdulillah, wa syukurillah laa khaula wa laa kuwwata illa billah.
:D

Minggu, 12 Juni 2011

Satu waktu jadi sholeh, lain waktu...., masih sholeh gag yah??



Saya sering mendengar istilah STMJ (sholat Tekun, Maksiat Jalan), ada lagi istilah tindakan penyeimbangan, misalnya, setelah melakukan penggelapan uang atau korupsi, kemudian sebagian uang itu disumbangkan ke panti asuhan atau yayasan sosial yang lain. dalilnya untuk menghapus dosa katanya.

“biar seimbang, ibadahnya ngimbangi dosanya” dialog seorang pemain dalam film layar lebar yang saya tonton.


Terlepas dialog itu hanya karangan seorang script writer, atau improvisasi dari naskah,  kalimat itu tentunya adalah cerminan dari masyarakat saat ini. Menyindir mungkin maksudnya.
Atau mungkin gak perlu seekstrim itu, contohnya saja, banyak dari kita ini mungkin yang setelah datang ke kajian, atau kuliah agama, atau setelah  ketemu ustadz, semangat ber-islamnya tinggi, menggebu-gebu, serasa diri kembali putih, semangat banget untuk membenahi diri untuk jadi lebih baik.
“Pokoknya setelah ini saya harus jadi orang yang lebih baik, harus berubah!!”
Apalagi para pemuda, yang semangatnya menggelora. Masa muda, masa yang berapi-api..... (koq jadi nyanyi yah?).
 tapi, setelah sehari, dua hari, paling lama seminggu kemudian, disaat sudah gak ketemu ustadz lagi, belom datang kajian lagi, gak dapat kuliah agama karena dosennya berhalangan hadir, ditambah dengan teman-teman disekeliling yang membuat hati bahagia, tertawa lepas, hari jadi penuh warna (sedikit mendramatisir),
Rasa-rasanya semangat memperbaiki iman dan taqwa itu menghilang entah kemana, mungkin menguap bersama udara panas di sekitar kita (jika kebetulan musim kemarau), atau luntur bagai baju yang terlalu lama direndam dan gak segera dijemur karena hujan deres (kalo musim hujan), atau mungkin ketinggalan dirumah ustadznya kali yah?hehe. astaghfirullah.....
Ya memang seperti itulah manusia hakikatnya, imannya gak bisa konstant kayak malaikat yang selalu tunduk patuh pada tihtah Tuhannya, yang selalu senantiasa berdzikir di sisi Rabbnya, yang selalu mendoakan orang-orang mukmin yang berusaha menjalankan perintah Allah, meski kita gak pernah minta mereka untuk selalu mendoakan kita.

Ooh, jadi wajar dong kalo giat sholat, ngaji, datang kajian, puasanya bersiklus, kan sudah fitrahnya manusia.
Jadi kalo lagi futurpun wajar dong?? Namanya juga manusia.....,

Yup, setuju banget. Emang wajar banget sifat kita yang kaya gitu. Iman itu emang kadang bertambah

“…dan jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya)….” (QS. Al-Anfāl(8): 2)

“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu’min supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)….” (QS. Al-Fath(48): 4)  

Dan bisa berkurang, atau bahkan hilang

Iman seseorang berkurang bahkan hilang ketika ia berbuat maksiat (HR Bukhari dan Muslim).

Tapi, kita tidak dibiarkan saja membiarkan iman kita bergejolak ditempat, tidak pasti, and gak ada peningkatan atau Naudzubillahi min dzalik penurunan atau bahkan ilang gitu aja. Emang surga punya nenek moyang Loe apa? Hehe, piss man!
Meskipun keimanan kita gak konstant, tapi ada keunggulannya juga, karena gak konstan, kadar keimanan kita bisa terus meningkat, bertambah levelnya, sesuai perlakuan peng-UpGrade-an yang kiat lakukan.
Caranya gimana? Banyak! Macem-macem, tergantung kita mau pilih cara yang mana, and yang pasti kudu Istiqomah. Ada sebuah cerita di jaman rasulullah dalam riwayat Imam Muslim,
...............
Suatu hari, abu Bakar Ash-Shiddiq berkunjung menemui Hanzhalah ibn Ar-Rabi’ dan menanyakan kabarnya

“hanzhalah telah munafik!” katan Hanzhalah sendu.

“subhanallah,” Hardik abu Bakar, “Apa yang engkau ucapkan?”

“Aku sering bersama Rasulullah” kata Hanzhalah, “Beliau mengingatkan tentang surga dan neraka seolah-olah aku melihatnya dengan mata kepala. Namun ketika aku keluar dari sisi beliau, lalu bercengkerama dengan anak-anak serta sibuk dengan pekerjaan, aku pun banyak melupakannya. Semua bayangan tentang Allah, surga dan neraka seakan tak bersisa.”

“Demi Allah! Sesungguhnya kami juga merasakan hal seperti itu!” sahut Abu Bakar membenarkan.
Mereka kemudian mendatangi Rasulullah dan menanyakan urusannya. dengan penuh semangat sekaligus kegelisahan.
mereka mengadukan keadaan dirinya yang serasa berbeda.
Rasulullah tersenyum.
“Demi dzat yang jiwaku di TanganNya” demikian sabda beliau, “Seandainya kalian selalu dalam keadaan sebagaimana ketika kalian ada di sisiku dan berdzikir, niscaya malaikat akan menjabat tangan kalian di tempat-tempat tidur, dan dijalan-jalan kalian. Akan tetapi sesaat demi sesaat, wahai Hanzhalah! Sesaat demi sesaat wahai Hanzhalah, sesaat demi sesaat!”
..............
Para sahabat nabipun juga mengalami fase-fase penurunan seperti itu, dan Rasulullah pun juga menegaskan, sesaat demi sesaat.
Sesaat demi sesaat, kita berusaha kembali memantapkan hati, meneguhkan tekat, menata niat, untuk selalu istiqomah dalam kebaikan.
Sesaat demi sesaat, kembali mendekatkan diri pada-Nya, melalui ibadah kita, sholat kita, dzikir kita, tilawah kita.
Sesaat demi sesaat menyempatkan diri untuk bergabung dalam majelis-majelis ilmu yang menyadarkan kembali kita akan hakikat hidup di dunia.
Dan yang gak kalah efektifnya adalah, selalu menyibukkan diri dengan kebaikan dan berkumpul dengan orang-orang yang selalu bisa mengingatkan kita untuk selalu dalam kebaikan.

Emang bener-bener bahagia rasanya dikelilingi oleh saudara-saudara yang selalu berlomba-lomba untuk mengamalkan kebaikan.
 Namun yang membuat perlombaan ini indahnya melebihi perlombaan yang lain adalah, masing-masing peseta lomba, tidak saling meninggalkan, berusaha menjatuhkan yang lain untuk membuat dirinya unggul, tidak demikian.
Yang membuat perlombaan ini indah adalah, masing-masing peserta tidak hanya merasa bertanggung jawab menjadikan dirinya unggul, tapi juga merasa bertanggung jawab membuat semua peserta unggul.
Jadi penjagaan diri dalam kebaikan yang juga efektif adalah selalu membersamai orang-orang yang baik. Mau sholeh, yah kumpul sama orang yang sholeh, biar ketularan. Dan bisa nularin temen yang lain.
Semua orang sama, punya potensi kebaikan masing-masing, tergantung gimana kita mau meng-upGrade potensi kebaikan itu supaya meningkat levelnya, and dapat mengurangi dan melemahkan potensi yang gak baik dari diri kita.
Semua tergantung sejauh mana kita mau berusaha. Karena memang

apakah menyangka manusia bahwa mereka akan dibiarkan saja mengatakan “kami telah beriman”, padahal mereka tidak kena percobaan?” (QS. Al-Ankabut : 1)

Sebuah pesan pengingat, khususnya untuk saya (hikss...) untuk selalu berusaha istiqomah.

Wahai Zat yang membolak-balik hati. Tetapkanlah hatiku dalam agama-Mu. (HR. Turmudzi dan Ahmad)

Daftar Pustaka
Al qur’an
Al hadist
Dalam dekapan Ukhuwah, Salim a. Fillah




Senin, 06 Juni 2011

semua orang adalah guru kita

Puisi ini saya kutip dari buku ‘Dalam Dekapan Ukhuwah’ karya ustadz Salim A. Fillah.
Membacanya membuat saya menyadari, bahwa setiap orang disekitar kita, baik yang antagonis maupun protogonis,
 Semua.
Yang menurut kita benar, bahkan yang salah.
Yang membuat kita ingin meniru dirinya,
maupun yang membuat kita bersyukur tidak menjadi dirinya, memang seharusnya berada disana,
 Di sekitar kita.
 Untuk membuat kita sadar dan memahami bagaimana menjadi bijaksana ^,^


.....................


Tanah Gersang
Dalam hubungan-hubungan yang kita jalin di kehidupan,
Setiap orang adalah guru bagi kita.
Ya, setiap orang. Siapapun mereka. Yang baik, juga yang jahat. Betapapun yang mereka berikan kepada kita selama ini hanyalah luka, rasa sakit, kepedihan, dan aniaya, mereka tetaplah guru-guru kita. Bukan karena mereka orang-orang yang bijaksana. Melainkan karena kitalah yang sedang belajar untuk menjadi bijaksana.
Mereka mungkin tanah gersang. Dan kitalah murid yang belajar untuk menjadi bijaksana. Kita belajar untuk menjadi embun pada paginya, awan teduh bagi siangnya, dan rembulan yang menghias malamnya.
Tetapi barangkali, kita justru adalah tanah yang paling gersang. Lebih gersang dari sawah yang kerontang. Lebih cengkar dari lahan kering di kemarau yang panjang. Lebih tandus dari padang rumput yang terbakar dan hangus. Maka bagi kita sang tanah gersang, selalu ada kesempatan menjadi murid yang bijaksana.
Seperti matahari yang tak hendak dekat-dekat bumi karena kawatir nyalanya bisa memusnahkan kehidupan. Seperti gunung api yang lahar panasnya kelak menjelma lahan subur, sejuk menghijau berwujud hutan.
Dan seperti batu cadas yang memberi kesempatan lumut untuk tumbuh di permukaannya. Dia izinkan sang lumut menghancurkan tubuhnya, melembutkan kekerasannya. Demi terciptanya butir-butir tanah. Demi tersedianya unsur hara agar pepohonan berbuah
(Salim A. Fillah; Dalam Dekapan Ukhuwah)