Kamis, 09 Mei 2013

Menulis


إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)
"Penulis hakikatnya menyapa dengan ilmu; maka ia berbalas tambahan pengertian; makin bening, makin luas, kian dalam, dan kian tajam. Agungnya lagi; sang penulis merentangkan ilmunya melampaui batas-batas waktu dan ruang. Ia tak dipupus masa dan usia, ia tak terhalang ruang dan jarak. Yang terucap kan lenyap tak berjejak, yang tertulis kan adi mengabadi. Tetapi bagi kita, makna keabadian karya bukan hanya soal masyhurnya nama; ia tentang pewarisan nilai. Apakah kemaslahatan yang kita lungsurkan, atau justru kerusakan.

 Menulis juga bagian dari tugas iman; sebab makhluk pertama ialah pena, ilmu pertama ialah bahasa, dan ayat pertama berbunyi “Baca!” Tersebut dalam hadis riwayat Imam Ahmad dan ditegaskan Ibnu Taimiyah dalam Fatawa, “Makhluk pertama yang dicipta-Nya ialah pena, lalu Dia berfirman, “Tulislah!” Tanya Pena, “Apa yang kutulis, wahai Rabbi?” Maka Allah titahkan, “Tulislah segala ketentuan yang Kutakdirkan bagi semua makhluk-Ku sejak awal zaman hingga akhir waktu.”

 Penulis sejati menghayati pesan Nabi; bicaralah pada kaum sesuai kadar pemahamannya, bicaralah dengan bahasa yang dimengerti oleh mereka. Penulis sejati memahami; dalam keterbatasan ilmu yang dimiliki, tugasnya menyederhanakan yang pelik, bukan merumitkan yang bersahaja. Itu pun tidak dalam rangka mengajari; tapi berbagi. Dia haus tuk menjala umpan balik dari pembaca; kritik, koreksi, dan tambahan data.

Penulis sejati juga tahu; yang paling berhak mengamalkan isi anggitannya adalah dirinya sendiri. Daya memahamkan hakikatnya berhulu di sini. Sebab seringkali kegagalan penulis memahamkan pembaca disebabkan dia pun tak memahami apa yang ditulisnya itu dalam amal nyata. Begitulah daya memahamkan; dimulai dengan sikap jiwa yang adil, haus ilmu, dan rendah hati terhadap pembaca kita, lalu dikuatkan dengan tekad bulat untuk menjadi orang pertama yang mengamalkan tulisan, dan berbagi pada pembaca dengan hangat, akrab, serta penuh cinta.

Penulis sejati mengukirkan semboyan, “Hanya sedikit ini yang kutahu, kutulis ia untukmu, maka berbagilah denganku apa yang kautahu.” 

(Salim A. Fillah)



Tidak ada komentar: