Selasa, 06 Desember 2016

Dimana dirimu saat Kitab Sucimu dinista?

"Dimana posisimu saat agamamu dinista?"





Hanya untuk menjawab satu pertanyaan itu saja banyak dalih dan alasan dikeluarkan.


"Ini bukan masalah simpel. Banyak faktor yang melatar belakangi tragedi ini"


"Ada banyak pihak yang memanfaatkan situasi. Ini hanyalah politisasi"


Tidak. Tidak usah terlalu melebar kemana-mana. Masa bodoh dengan politisasi situasi, atau   argumen-argumen yang saling melengkapi. Cukup sederhana,  tanyalah dalam hati apa yang kau rasa saat kitab sucimu dicaci?


Toleransi? apakah melindungi yang menghina disebut bertoleransi?

Apakah menuntut si penista disebut antipati?
Bukankah toleransi berarti saling menghargai?
Bukankah toleransi itu saling menghormati?
Lalu kenapa yang tidak toleran yang harus dimengerti sementara yang terluka harus kembali "bertoleransi"?

Perdamaian dan kerukunan adalah suatu kondisi yang tercipta dengan "usaha" dan "penjagaan". Ia tak hadir serta merta. percikan kecil permusuhan yang dibiarkan akan berubah jadi bara pertikaian yang besar.

Maka salahkah jika kami ingin percikan kecil itu segera dipadamkan? Sebelum melebar dan terjadi kebakaran? 
Lalu mengapa kami malah disebut pembuat keributan?

Bukankah api itu bukan kami yang nyalakan?

Bukankah menyedihkan saat yang terluka juga difitnah? Apalagi saat yang memfitnah mengaku saudara?

Aah...biarlah. 
toh kami juga tak butuh puji puja.
Toh masih banyak yang berjuang bersama kita. 
Toh yang kita butuhkan hanya bukti kontribusi untuk suatu hari nanti saat kita ditanyai

"dimana kau saat kitab sucimu dicaci?

Semoga dengan hati lapang kami dapat menjawabnya : kami ada dibarisan mereka ya Rabbi, yang berjuang membela kitab suci.

Tidak ada komentar: