Senin, 22 Oktober 2012

Hal Kecil yang Begitu Berarti

pagi ini, untuk kesekian kalinya dalam 1 bulan ini saya kembali mengunjungi Sekolah dasar itu.
Sebuah sekolah dasar negeri yang terletak di wilayah pedesaan, di kota Malang. Kesempatan untuk mengunjungi sekolah-sekolah (Elementary School) seperti ini tidak akan saya dan teman-teman satu jurusan dapatkan jika tidak mengikuti program KKN seperti.
Seperti kunjungan-kunjungan sebelumnya, kali inipun kami disambut dengan hangat. Bapak kepala sekolah menyambut kami dengan senyum ramahnya,
 “bagaimana mbak, mas? Kali ini apa yang bisa kami siapkan untuk kegiatannya?” tawar beliau dengan tetap mengembangkan senyum di wajahnya.
Sekolah ini memang sangat sederhana, dengan rata-rata jumlah murid sekitar 20 orang tiap kelas, setiap guru harus siap memegang lebih dari 1 kelas tiap harinya, karena memang jumlah tenaga pengajarnya terbatas.

Begitu sederhana, dan bersahaja. Itu image yang begitu terasa disana, sedikit mengingatkan saya pada SD (Sekolah Dasar) saya dulu. saya membayangkan wajah saya pasti sama dekilnya dengan mereka kala itu, hehe. Dulu ibu saya selalu mengingatkan saya untuk selalu menggunakan Topi untuk menutupi kepala, khususnya wajah dari sengatan matahari yang terik, ibu saya pasti prihatin melihat penampakan anak gadisnya yang kucel dan dekil. hobi saya dulu memang berpanas-panasan di lapangan sekolah. Lari-larian, main voli, apapun, yang berhubungan dengan ‘bergerak’ selalu menarik untuk anak-anak.
Baiklah, kembali pada cerita awal.
Beberapa kegiatan kami di sekolah adalah MinUm (Mini Praktikum), Jambore, drama Jajanan sehat, dan Pemilihan Ahli Gizi Cilik. Tentu kegiatan berjalan tidak semudah yang kami bayangkan, meskipun over all, bisa dikatakan sukses.
Menghadapi anak-anak berarti harus melipat gandakan kesabaran kami, hehe. Karena mengatur anak SD membutuhkan tenaga 3-5 kali lebih banyak dibanding mengkoordinir teman-teman kita di perkuliahan. Suara harus lebih lantang, metode komunikasi juga harus lebih menarik, karena monoton sedikit saja mereka pasti sudah ‘sibuk sendiri’, bukan hanya ngobrol ke teman-teman di kanan maupun kiri, tapi lari-lari ke lapangan, bikin bebunyian dengan bangku/meja-meja kelas, sampai joget-joget gak jelas (kalo diinget-inget jadi ketawa-ketiwi sendiri). Tapi gak masalah, because we love kids, dan kita juga pernah jadi mereka jadi... pahamlah apa yang mereka rasakan.
Well, tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan disini (upss, tapi udah terlanjur diceritakan yah? Gak papa deh, bonus cerita^^)
Suatu hari, ketika kegiatan jambore sedang berlangsung, di post terakhir dari rangkaian kegiatan jambore kami memutarkan lagu anak-anak. Maunya sih, selain membuat suasana lebih ceria, kami juga ingin mengenalkan musik-musik anak-anak pada mereka. Tapi tahukah saudara-saudara apa yang mereka katakan pada kami?
kak, lagunya gak kenal semua,kak.... ganti lagu kak..ganti lagu...”rengek mereka
ada lagu dangdut nggak kak?” request mereka
Waduuuh, dibandingkan lagu-lagu seusia mereka, mereka lebih hafal dan mengenal lagu dangdut!. Bukan musik dangdutnya sebenarnya yang saya khawatirkan, tapi lirik lagu-lagunya yang kadang tidak patut untuk konsumsi anak-anak. Setuju gak? Dan secara gak langsung ini berimbas pada pola pikir adek-adek kita ini.
Walaupun sebenarnya hal ini tidak begitu mengejutkan kami, karena memang banyak saya jumpai fenomena seperti ini. Tapi tetap miris melihatnya, wajah adek-adek yang polos ini.... gak rela rasanya kalau mereka terwarnai oleh hal-hal yang kurang baik T_T
Dan sebenarnya, ketika pertama kali mendengarkan musik anak-anak yang kami putarkan, mereka secara reflek menggerakkan badannya sesuai irama lagu yang ceria. Tuh kan, sebenarnya mereka lebih suka dengan lagu anak-anak yang lebih sesuai dengan mereka, tapi karena gak hafal dan gak kenal, lama-lama bosen juga dan yang diminta akhirnya lagu-lagu yang sudah terlanjur familiar ditelinga mereka.
Belum habis keprihatinan saya mereka merequest lagi
“kakak, ada lagu Gangnam style gak kak, puterin dong kak.....”
Gubraaaaaak~
Ternyata fenomena gangnam style sudah menyebar ke pelosok-pelosok desa, ke desa ini juga, bahkan mendahului adanya TPU alias Tempat Pembuangan Umum.
Yah, di desa ini masih banyak, bahkan hampir semua penduduk desanya tidak punya tempat sampah, jadi sampah-sampah yang ada dibakar kira-kira setiap 2-3hari sekali.
Desa dimana kesadaran higienitas dan sanitasi masih dirintis untuk ditanamkan, dimana masih banyak penduduknya yang memilih mandi di Sungai yang tak cukup jernih airnya, yang belum semua penduduk punya kamar mandi pribadi, ternyata sudah lebih dulu  mengenal  gangnam stye dan Hot pant. Miris? Kalau saya iya. Bukan berarti saya mencela kebiasaan-kebiasaan penduduk, bukan...sungguh bukan...Karena mungkin mereka hanya mengikuti saja apa yang ditampilkan dan dipromosikan di media. ini merupakan introspeksi kita bersama. Ternyata misi dan nilai kebaikan yang berusaha kita  tanamkan, masih kurang masif dibandingkan nilai-nilai seperti ini.


Ayo yang ngaku muslim, harus terpacu untuk bergerak, kan islam itu rahmat, dan muslim itu penyebar rahmat. #introspeksi juga pada diri sendiri, karena saya ternyata juga belum bisa menyumbangkan apa-apa yang berarti bagi agama dan bangsa ini, hiks...
Baiklah, kembali lagi ke anak-anak SD.
Selain hal yang mengejutkan, ada juga hal-hal mengharukan yang terjadi.
Di akhir kegiatan kami, ada moment pemberian piala kepada juara ahli gizi cilik. Pemberian piala ini diserahkan oleh bapak kepala sekolah di hadapan para guru dan para siswa. Sebenarnya acara ini terbilang sangat sederhana jika dibandingkan kegiatan dan proker-proker yang kita buat atau saya lihat dikampus. Tidak memakan banyak biaya, bahkan tidak sampai menghabiskan uang  Rp.50.000,- tapi apresiasinya... sangat luar biasa.
Hadiah yang kami siapkan hanyalah dua buah buku tulis beserta bulpen yang dibungkus dengan kertas kado dan satu buah piala kecil untuk sang juara ahli gizi cilik. Karena keterbatasan biaya kami, kami hanya menyediakan 1 piala untuk 1 orang juara.
 Meski sangat seadanya, mereka menerima hadiah kami dengan wajah berseri-seri. Tidak hanya sang juara, tapi juga para guru dan kepala sekolah, semua tampak sangat bahagia.
Ketika piala dikeluarkan, sontak seluruh siswa bersorak dan tepuk tangan, padahal pengumuman pemenang belum juga diumumkan.
Wajah anak-anak ketika melihat piala sederhana kami, ibarat wajah berseri-seri para bajak laut yang berhasil menemukan harta karun #agak lebay, tapi beneran loh.
Dan ketika pak kepala sekolah menyerahkan piala pada sang juara, seorang guru sontak menitihkan air mata haru. Untuk sesaat saya terperangah
“subhanallah..... ternyata sebuah piala berharga 20.000 rupiah dapat mendatangkan begitu banyak kebahagiaan disini”
Saya kembali teringat akan kejadian sehari sebelumnya, percakapan antara kami dan penjual piala
“mbak, ini piala yang kecil harganya 17.000 rupiah saja ya?” tawar teman saya
“waah, gak boleh mbak, yang itu pasnya 20.000” kelit penjualnya.
Piala 20.000 ribu ini bagaikan harta bernilai puluhan juta rupiah bagi adek-adek ini. Begitu sederhana kan mereka?
“Jangan meremehkan perbuatan kebaikan sesuatupun, walau sekadar menyambut kawan dengan muka yang manis” ujar sang nabi
Kebaikan-kebaikan kecil yang menurut kita tak berarti, bisa jadi merupakan hal yang sangat dinanti-natikan oleh orang lain
Kami sedikit menyesal, karena tidak membawakan lebih banyak hadiah untuk mereka. Teman saya menyeletuk
“rasanya pingin banget kembali kesini, ntar deh, kalau aku udah kaya raya, nanti ku kasih hadiah yang banyak adek-adeknya” sesalnya.
Saya dan teman saya yang lain Cuma bisa tersenyum dan mengamini.
Mungkin kami sekarang hanya mahasiswa, yang bahkan belum berpenghasilan, tapi semoga sedikit yang bisa kami bagi ini dapat mendatangkan manfaat bagi mereka. Semoga suatu saat nanti kita bisa menjadi orang yang digambarkan oleh Sang rasul
"Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak mamfaatnya bagi orang lain." (HR. Bukhari dan Muslim)

3 komentar:

Unknown mengatakan...

Diah Ayu Kusumaningtyas :)

brendatiffany mengatakan...

Keep inspiring ya kotoko :)

Unknown mengatakan...

diah ayu, keep writing for goodness