Oleh : Cahyadi Takariawan
Ada keadaan yang sering terlihat timpang dalam
kehidupan sosial kita. Sebagian besar masyarakat Indonesia terdiri dari
orang-orang yang beriman. Mereka percaya dan yakin adanya Allah, juga yakin
akan adanya pembalasan di hari akhirat kelak. Namun realitas iman tersebut
belum mampu memberikan warna dalam kehidupan keseharian.
Bagaimana mungkin bangsa yang sangat banyak melakukan
mujahadah, istighatsah, tabligh akbar, doa bersama, serta berbagai ritual
keagamaan ini, juga menjadi bangsa yang paling banyak melakukan korupsi? Bangsa
yang rajin melakukan ibadah, namun juga menjadi bangsa yang rajin mengembangkan
tindak kemaksiatan.
Ada banyak hal yang telah hilang dari kepribadian
bangsa kita. Keimanan seakan telah kehilangan ruh yang menggerakkan. Iman
tinggal menjadi simbol dan ritual, tanpa esensi. Padahal jika tengok kehidupan
masyarakat beriman di zaman keemasan Islam, akan tampaklah ruh iman yang
memberikan warna yang sangat jelas dalam berbagai bidang kehidupan.
Dalam menjalankan kehidupan keseharian, orang-orang
beriman senantiasa berhati-hati agar tidak terjatuh dalam penyimpangan
dan kesalahan. Lihatlah para Khalifah rasyidah terdahulu, mereka telah berhasil
memberikan contoh bagaimana seharusnya kehidupan orang-orang beriman. Contoh
kecil dari khalifah Umar bin Abdul Aziz berikut menunjukkan bagaimana keimanan
telah menjadi warna dalam kehidupan keseharian sang pemimpin.
Pada suatu hari, khalifah Umar bin Abdul Aziz
kedatangan seorang tamu yang tak lain adalah bibi beliau sendiri. Sang bibi
datang untuk meminta tambahan jatah dana dari Baitul Mal. Mungkin ia berpikir,
karena yang menjadi penguasa adalah kemenakannya sendiri, maka akan mudah untuk
meminta tambahan dana dari Baitul Mal.
Tatkala sang bibi masuk ke rumah Umar, ia melihat
Amirul Mukminin ini tengah makan kacang adas dan bawang, yang merupakan makanan
rakyat jelata pada waktu itu. Melihat kedatangan bibinya, Umar segera
menghentikan makannya. Beliau sudah mengetahui maksud kedatangan sang bibi.
“Ya Amirul Mukminin, berikan kepadaku tambahan dana
dari Baitul Mal,” pinta sang bibi.
“Tunggulah sebentar,” kata Amirul Mukminin.
Umar bin Abdul Aziz kemudian mengambil satu dirham
uang perak dan membakarnya di atas api. Setelah tampak panas, beliau bungkus
uang perak panas tersebut dengan kain.
“Inilah uang tambahan yang Bibi minta,” kata Umar
sembari menyerahkan bungkusan tersebut ke tangan sang bibi.
Begitu menggenggam bungkusan tersebut, spontan sang
bibi melemparkannya sembari menjerit kesakitan karena panasnya uang perak yang
telah terpanggang api.
“Kalau api dunia saja begitu panas,” kata Umar,
“bagaimana dengan api akhirat kelak yang akan membakar aku dan Bibi karena
menyelewengkan harta negara?”
Luar biasa kehati-hatian sang Khalifah dalam menjaga
harta negara. Beliau tidak mau mengeluarkan milik negara dengan cara yang tidak
benar, walaupun yang datang meminta adalah bibi beliau sendiri. Apakah yang
menyebabkan beliau berperilaku seperti itu? Tidak ada jawaban lain, kecuali:
iman. Ya, karena iman yang kuat terpatri dalam jiwa Khalifah, beliau menjadi
lurus dan bersih dalam kehidupan.
Bagaimana dengan bangsa dan pemimpin kita? Bukankah
syarat pemimpin di Indonesia haruslah beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa?
Lalu dimanakah iman tersebut tatkala korupsi telah merajalela di negeri ini?
Dimanakah letak iman pada saat kebusukan menggerogoti birokrasi, pada saat
anggota dewan meminta tambahan gaji, pada saat para pemimpin mementingkan
hidupnya sendiri?
Rupanya, keimanan kita senantiasa diuji. Sebab, iman
bukan saja masalah TEORI, namun lebih penting lagi APLIKASI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar