pada tanggal 6 Oktober kemarin, Lembaga Kerohanian Islam FKUB menyelenggarakan event besar yang bertajuk "Semusim" atau Seminar Muslimah.
inti seminarnya sih mengupas tuntas tentang pernikahan, mulai dari memilih calon yang tepat, hingga kiat-kiat mendidik anak yang hebat.
and here is one of the topic that we discuss. dari ustadz salim A. fillah, semoga bermanfaat :)
Engkaulah itu minyak atar
Meskipun masih tersimpan
Dalam kuntum yang akan mekar
-Iqbal, Javid Namah-
“Seandainya kami bisa membelikan janggut untuk
Qais dengan harta kami”, kata orang-orang Anshar, “Niscaya akan kami lakukan.”
Semua sifat dan jiwa kepemimpinan memang ada pada pemuda ini. Nasabnya juga
terkemuka lagi mulia. Kecuali, ya itu tadi. Janggut. Salah satu simbol
kejantanan dalam kaumnya yang sayangnya tak dimilikinya. Wajahnya licin dan
bersih.
Namanya Qais ibn Sa’d ibn ‘Ubadah. Ayahnya, Sa’d ibn
‘Ubadah, pemimpin suku Khazraj di Madinah. Rasulullah menyebut keluarga ini
sebagai limpahan kedermawanan. Ketika para muhajirin datang, masing-masing
orang Anshar membawa satu atau dua orang yang telah dipersaudarakan dengan
mereka ke rumahnya untuk ditanggung kehidupannya. Kecuali Sa’d ibn ‘Ubadah. Dia
membawa 80 orang muhajirin ke rumahnya!
Saat masuk Islam, Sa’d ibn ‘Ubadah menyerahkan sang
putera kepada Rasulullah. “Inilah khadam anda wahai Nabi Allah”, ujar Sa’d.
Tapi menurut Anas ibn Malik, Qais lebih pas disebut ajudan Sang Nabi.
Dan air
cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Dalam pergaulannya di kalangan
pemuda, Qais sangat royal seperti bapaknya di kalangan tua-tua. Tak terhitung
lagi sedekah dan dermanya. Tak pernah ditagihnya piutang-piutangnya. Tak pernah
diambilnya jika orang mengembalikan pinjaman padanya.
Kedermawanan Qais begitu masyhur di kalangan muhajirin
hingga menjadi bahan perbincangan. Sampai-sampai suatu hari Abu Bakr Ash
Shiddiq dan ‘Umar ibn Al Khaththab berbicara tentangnya dan berujar, “Kalau
kita biarkan terus pemuda ini dengan kedermawanannya, bisa-bisa habis licinlah
harta orangtuanya!”
Pembicaraan ini sampai juga ke telinga sang ayah, Sa’d
ibn ‘Ubadah. Apa komentarnya? Menarik sekali. “Aduhai siapa yang dapat membela
diriku terhadap Abu Bakr dan ‘Umar?!”, serunya. “Mereka telah mengajari anakku
untuk kikir dengan memperalat namaku!” Mendengarnya para sahabat pun tertawa.
Lalu Abu Bakr dan ‘Umar meminta maaf padanya.
Ah, Qais dan Sa’d. Ayah dan anak ini sebaris di jalan
cinta para pejuang. Tak ada bedanya.
♥♥♥
Inilah salah satu ciri yang menonjol dari zaman yang
mulia itu. Pewarisan karakter yang sangat kental dari para ayah kepada para
anak. Seperti dari Sa’d ibn ’Ubadah kepada Qais yang telah kita bicarakan. Di
belakang nama orang Arab selalu terderet nama ayah-ayah mereka. Mungkin salah
satu hikmahnya adalah identifikasi. Tak cuma identifikasi keturunan siapa. Tapi
juga wataknya. Kalau kau ingat bapaknya dulu punya suatu sifat mulia, demikian
pula kurang lebih anaknya.
Itulah zaman di mana orangtua benar-benar dituakan
oleh anaknya, dan mereka mendapatkan pendidikannya di madrasah yang tanpa libur
dan tanpa jeda. Di rumahnya. Tempat di mana mereka belajar bukan hanya dari apa
yang terucap, tapi apa yang dilakukan oleh ayah bundanya. Orangtua adalah guru
yang sebenar-benarnya. Mereka digugu, ditaati karena integritas di
hadapan anak-anaknya. Dan ditiru, karena memang semua perilakunya membanggakan
untuk dijadikan identitas.
Maka jadilah masyarakat itu masyarakat yang punya
tingkat saling percaya amat tinggi. Kalau kau mau menikahi Hafshah, tak perlu
berkenalan dengan Hafshah. Lihatlah saja ’Umar, bapaknya. Nah, Hafshah kurang
lebih ya seperti bapaknya. Kalau mau menikah dengan ’Aisyah, tak perlu
engkau mengenal ’Aisyah. Coba perhatikan Abu Bakr. Nah, ’Aisyah tak beda jauh
dengannya. Maka dalam gelar pun mereka serupa; Abu Bakr dijuluki Ash Shiddiq,
dan ’Aisyah sering dipanggil Ash Shiddiqah binti Ash Shiddiq.
Dari sinilah saya berargumen pada sebuah seminar
pernikahan yang membuat para pesertanya nyaris tersedak. Ada yang memberi
pernyataan, ”Di dalam Islam kan tidak ada pacaran, yang ada ta’aruf.” Kata
saya, ”Ta’aruf? Tidak ada dalilnya. Tidak ada asal dan contohnya dari
Rasulullah maupun para shahabat. Ini istilah umum yang dipaksakan menjadi
istilah khusus pernikahan. Sedihnya lagi, ada yang menyalahgunakannya.
Mengganti istilah, dengan hakikat dan isi yang nyaris sama dengan pacaran. Na’udzu
billaahi min dzalik.”
Maafkan sekiranya saya berlebihan. Tapi begitulah.
Kata ta’aruf artinya ’saling mengenal’ hanya kita temukan dalam Al Quran
dalam konteks yang umum.
”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al
Hujuraat 13)
♥♥♥
Tetapi tentu saja sebuah pernikahan yang dimulai
dengan hanya mengandalkan rasa saling percaya di dalam suatu masyarakat menjadi
penuh resiko di kelak kemudian hari. Apalagi hari ini, ketika kita mudah oleng,
tak teguh berpijak pada wahyu dan nurani. Beberapa halaman lewat, pada tajuk Berkelana
dalam Pilihan kita sudah menyimak kisah Habibah binti Sahl yang akhirnya
memilih mengajukan pisah dari suaminya, Tsabit ibn Qais. Mengapa? Habibah
mengukur kekuatan dirinya yang ia rasa takkan sanggup bersabar atas kondisi
suaminya yang menurutnya, ”Paling hitam kulitnya, pendek tubuhnya, dan paling
jelek wajahnya.”
Ya, masalahnya adalah Habibah belum pernah melihat
calon suaminya itu. Belum pernah. Sama sekali belum pernah. Mereka baru bertemu
setelah akad diikatkan oleh walinya. Sebelum berjumpa, dalam diri Habibah
muncul harapan sewajarnya akan seorang suami. Dan harapan itu, karena
ketidaksiapannya, karena ia belum pernah melihat sebelumnya, menjadi tinggi melangit
dan tak tergapai oleh kenyataan. Ia dilanda kekecewaan. Mungkin kisahnya akan
lain jika Habibah telah melihat calon suaminya sebelum pernikahan terjadi. Ia
punya waktu untuk menimbang. Ia punya waktu untuk bersiap. Ia punya waktu
untuk, kata Sang Nabi, ”Menemukan sesuatu yang menarik hati pada dirinya.”
Dalam riwayat Imam Abu Dawud, Jabir ibn ’Abdillah
mendengar Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam bersabda, ”Jika
salah seorang dari kalian hendak meminang seorang perempuan, jika mampu
hendaklah ia melihatnya terlebih dahulu untuk menemukan daya tarik yang
membawanya menuju pernikahan.” Maka ketika Jabir hendak meminang, ia rahasiakan
maksudnya, dan ia melihat kepada wanita Bani Salamah yang hendak dinikahinya.
Ia menemukannya. Hal-hal yang menarik hati pada wanita itu, yang mebuatnya
memantapkan hati untuk menikahi.
Al Mughirah ibn Syu’bah Radhiyallaahu ’Anhu,
sahabat Rasulullah yang masyhur karena kehidupan rumahtangganya yang sering
dilanda prahara sejak zaman jahiliah, suatu hari ingin meminang seorang
shahabiyah, seorang wanita shalihah. Maka Sang Nabi pun berkata padanya,
”Lihatlah dulu kepadanya, suapaya kehidupan kalian berdua kelak lebih
langgeng.”
Subhanallah, inilah pernikahan terakhir Al Mughirah yang lestari
hingga akhir hayatnya. Padahal sebelumnya entah berapa puluh wanita yang pernah
menemani hari-harinya. Penuh dinamika dalam nikah dan cerai. Itu di antaranya
disebabkan ia tak pernah melihat calon isterinya sebelum mereka menikah. Maka
dengan menjalani sunnah Sang Nabi, Al Mughirah mendapatkan doa beliau,
mendapatkan ikatan hati yang langgeng dan mesra. Demikian disampaikan kepada
kita oleh Imam An Nasa’i, Ibnu Majah, dan At Tirmidzi.
Dari mereka kita belajar bahwa syari’at mengajari kita
untuk nazhar. Melihat. Melihat untuk menemukan sesuatu yang membuat kita
melangkah lebih jauh ke jalan yang diridhai Allah. Melihat untuk menemukan
sebuah ketertarikan. Itu saja. Bukan mencari aib. Bukan menyelidiki cela. Bukan
mendetailkan data-data. Lihatlah kepadanya. Itu saja. Tentu dengan mestarikan
prasangka baik kita kepada Allah, kepada diri, dan kepada sesama.
Di jalan cinta para pejuang, kita melestarikan
nilai-nilai nazhar; berbaik sangka kepada Allah, menjaga pandangan dalam
batas-batasnya, dan selalu mencari hal yang menarik. Bukan sebaliknya..
Keluarkan Kucing dari Karungnya
jangan kau kira cinta datang
dari keakraban dan pendekatan yang tekun
cinta adalah putera dari kecocokan jiwa
dan jikalau itu tiada
cinta takkan pernah tercipta,
dalam hitungan tahun, bahkan millenia
-Kahlil Gibran-
Jika nazhar telah kita lakukan, sungguh kita telah
mengeluarkan kucing dari karungnya. Tak lagi membeli kucing dalam karung.
Karena kucing juga tak suka dimasukkan dalam karung. Karena kita juga tak ingin
menikah dengan kucing.
Tapi nazhar itu cukuplah sedikit saja.
Adalah Malcolm Gladwell, wartawan The New Yorker
yang setelah sukses dengan buku Tipping Point-nya, lalu berkelana
penjuru Amerika untuk menulis dan merilis buku barunya, Blink: The Power of
Thinking without Thinking. Buku tentang berfikir tanpa berfikir. Buku
tentang dua detik pertama yang menentukan. Yang dengan pertimbangan dua detik
itu, keputusan yang dihasilkan seringkali jauh lebih baik dari riset yang
menjelimet. Dalam bukunya, Gladwell membentangkan puluhan riset yang kuat
validitasnya dari berbagai ilmuwan terkemuka untuk menjabarkan tesisnya.
Dua detik pertama mencerap dengan indera itu
menentukan. Mahapenting.
Sejalan dengan riset-riset yang dibabarkan Malcolm
Gladwell, Kazuo Murakami, ahli genetika peraih Max Planck Award 1990 itu berkisah
bahwa para ilmuwan yang begitu tekun belajar untuk menguasai disiplin ilmunya
hingga ke taraf ahli, acapkali tak pernah menghasilkan penemuan besar. Justru
ilmuwan yang ‘tak banyak tahu’ seringkali menghasilkan dobrakan-dobrakan
mengejutkan. Penemuan akbar.
“Mengapa terlalu banyak tahu terkadang menghalangi
kita?”, kata Murakami dalam buku The Divine Message of The DNA.
“Sebenarnya bukan informasi itu sendiri yang pada dasarnya buruk; tetapi
mengetahui lebih banyak daripada orang lain dapat membuai kita untuk
mempercayai bahwa keputusan kita lebih baik.”
Padahal seringkali dengan banyaknya informasi
membanjir, kemampuan otak kita untuk memilah mana informasi yang berguna dan
mana yang tak bermakna menjadi menurun. Otak kita bingung menentukan prioritas.
Fakta yang kita anggap penting ternyata sampah. Sebaliknya, hal kecil yang kita
remehkan justru bisa jadi adalah kunci dari semuanya. Maka, merujuk pada
Gladwell dan Murakami, kita memang tak perlu tahu banyak hal. Cukup mengetahui
yang penting saja.
Begitu juga tentang calon isteri, calon suami, calon
pasangan kita. Kita tak perlu tahu terlalu banyak. Cukup yang penting saja.
Alkisah, seorang lelaki hendak menikah. Maka satu hal
saja yang ia persyaratkan untuk calon isterinya; memiliki tiga kelompok binaan
pengajian yang kompak padu. Ketika mereka bertemu untuk nazhar sekaligus
merencanakan pinangan, sang wanita berkata, “Maaf, saya tidak bisa memasak.”
Ini ujian Allah, batin si lelaki. Bukankah dia hanya meminta yang memiliki
binaan pengajian? Mengapa harus mundur, ketika sang calon tak bias memasak?
“Insyaallah di Jogja banyak rumah makan”, begitu
jawabnya sambil menundukkan senyum.
“Dan saya juga tidak terbiasa mencuci.
”
Kali ini senyumnya ditahan lebih dalam. Kebangetan
juga sih. Tapi ia tahu, ini ujian. Maka katanya, “Insyaallah di Jogja
banyak laundry.”
Ia, sang lelaki tahu apa yang penting. Kejujuran.
Keterbukaan. Itu sudah ditunjukkan oleh sang wanita dengan sangat jelas, sangat
ksatria. Ia berani mengakui tak bisa memasak dan tak bisa mencuci. Tanpa
diminta. Dua hal yang kadang membuat lelaki rewel. Tetapi dia adalah lelaki
yang berupaya selalu memiliki visi dan misi. Maka dia mendapatkan sesuatu yang
berharga; seorang wanita yang memiliki tiga kelompok binaan kompak padu. Dan
itu sangat berarti bagi visi dan misinya dalam membangun keluarga. Selebihnya,
siapa juga yang mencari tukang cuci dan tukang masak? Yang dia cari adalah
seorang isteri, bukan kedua macam profesi itu.
Dan tahukah anda? Setelah pernikahan berjalan beberapa
waktu, ketika merasa diterima apa adanya oleh suami tercinta, sang isteripun
mencoba memasak. Ternyata ia pandai. Hanya selama ini ia tak pernah mencoba.
Masakannya lezat, jauh melebihi harapan sederhana sang suami. Begitu juga dalam
hal-hal lain. Banyak kejutan yang diterima sang suami. Jauh melebihi
harapan-harapannya. Dulu, dia memang tak terlalu banyak tahu tentang calon
isterinya. Ia cukup mengetahui yang terpenting saja.
Dua detik itu sangat menentukan. Mungkin karena dalam
dua detik itulah ruh saling mengenal. Mereka saling mengirim sandi. Jika sandi
dikenali, mereka akan bersepakat, tanpa banyak tanya, tanpa banyak bicara.
Karena sesudah itu adalah saatnya bekerja mewujudkan tujuan bersama. Segera.
Jangan ditunda-tunda.
“Ruh-ruh itu ibarat prajurit-prajurit yang dibaris-bariskan.
Yang saling mengenal diantara mereka pasti akan saling melembut dan menyatu.
Yang tidak saling mengenal diantara mereka pasti akan saling berbeda dan
berpisah.” (HR Al Bukhari [3336] secara mu’allaq dari ’Aisyah, dan Muslim
[2638], dari Abu Hurairah)
Ruh itu seperti tentara. Ada sandi di antara mereka. Jika sandi telah dikenali,
tak perlu banyak lagi yang diketahui. Cukup itu saja. Mereka akan bersepakat.
Mereka adalah sekawan dan sepihak. Mereka akan bergerak untuk satu tujuan yang
diyakini. Jadi apakah yang menjadi sandi di antara para ruh?
Iman.
Tentu saja.
Kadar-kadarnya akan menerbitkan gelombang dalam frekuensi yang sama. Jika tak
serupa, jika sandinya tak diterima, ia telah berbeda dan sejak awal tak hendak
menyatu.
”Iman”, kata Sayyid Quthb dalam Fii Zhilaalil Quran,
”Adalah persepsi baru terhadap alam, apresiasi baru terhadap keindahan, dan
kehidupan di muka bumi, di atas pentas ciptaan Allah, sepanjang malam dan
siang. Dan inilah yang diperbuat keimanan. Membuka mata dan hati. Menumbuhkan
kepekaan. Menyirai kejelitaan, keserasian, dan kesempurnaan.” Maka biarlah dia
yang menjadi ratu penentu, di dua detik pertama nazhar kita.
Di jalan cinta para pejuang, kita melestarikan
nilai-nilai nazhar; berbaik sangka kepada Allah, menjaga pandangan dalam
batas-batasnya, dan selalu mencari hal yang menarik. Bukan sebaliknya. Di jalan
cinta para pejuang, yang terpenting bukanlah seberapa banyak engkau tahu, tapi
bahwa engkau mengetahui yang memang bermakna bagimu. Dan bahwa Allah selalu bersamamu.
kecocokan jiwa memang tak selalu sama rumusnya
ada dua sungai besar yang bertemu dan bermuara di laut
yang satu; itu kesamaan
ada panas dan dingin bertemu untuk mencapai
kehangatan; itu keseimbangan
ada hujan lebat berjumpa tanah subur, lalu menumbuhkan
taman; itu kegenapan
tapi satu hal tetap sama
mereka cocok karena bersama bertasbih memuji
Allah
seperti segala sesuatu yang ada di langit dan bumi,
ruku’ pada keagunganNya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar